Jumat, 24 April 2009

KPU dan Panwaslu Nunukan Dikecam Massa 24 Parpol

KPU dan Panwaslu Nunukan Dikecam Massa Parpol

Liputan6.com, Nunukan: Ratusan massa dari gabungan 24 partai politik menggelar unjuk rasa di Kantor KPU dan Panwaslu Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, belum lama ini. Mereka mengecam kinerja Panwaslu Nunukan yang dinilai tutup mata atas kecurangan-kecurangan oknum tertentu. Massa juga mengkritik KPU Nunukan yang mereka tuding paling bertanggung jawab atas dugaan terjadinya penggelembungan suara sekitar 22 ribu orang dalam daftar pemilih tetap. Tidak sampai di situ, massa juga mensinyalir ada oknum di KPU Nunukan yang melindungi perbuatan politik uang yang dilakukan caleg partai tertentu. Karena itu, massa menuntut digelarnya pemilu diulang. Hingga saat ini 24 partai politik lintas partai terus memantau penghitungan suara secara manual.(ADO/Imron Rosyadi)

Minggu, 05 April 2009

Dankormar Resmikan 5 Pos Pamtas Marinir di Sebatik

Dankormar Resmikan 5 Pos Pamtas Marinir di Sebatik

Nunukan Zoners Community - Dankormar Mayjen TNI (MAR) Djunaidi Djahri meresmikan 5 pos pengamanan perbatasan (Pamtas) di Sebatik, yang ditandai dengan penandatanganan prasasti di Posko Satgasmar Ambalat Pamtas, Sabtu (4/4) lalu. Lima pos pamtas yang diresmikan tersebut yakni, Pos Pamtas Sei Bajau yang dikomandani Kapten (Mar) Budi Santosa yang juga Dansatgasmar Ambalat IX, Pos Pamtas Sei Taiwan yang dikomandani Letda (Mar) Halley, Pos Pamtas Balansiku dikomandani Serka (Mar) Tory, Pos Pamtas Tembaring dikomandani Lettu (Mar) Poniman dan Pos Pamtas Bambangan dikomandani Serma (Mar) Harianto. Ia menerangkan, secara geografis batas wilayah Indonesia dengan negara tetanga adalah laut, yang sangat berpotensi menimbulkan konflik. Hal ini yang harus diwaspadai dan diperhatikan oleh pemerintah dan semua pihak, termasuk korps marinir TNI AL. ” Maka dibangunlah pos-pos pengamanan dan sarana prasarananya, untuk mendukung satgas korps marinir, dalam pengamanan wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga di wilayah ini,” katanya. Dalam kesempatan sama, dilaksanakan pula pergantian personel pengamanan perbatasan dari kompi Satgasmar Ambalat VIII DPP Kapten (Mar) Agus Hariyanto, kepada Kompi Satgasmar Ambalat IX DPP Kapten (Mar) Budi Santosa. Selama 9 bulan, sejak Juli 2008-April 2009, Satgasmar Ambalat VIII telah melaksanakan tugasnya dengan baik dan banyak hal positif yang telah ditunjukkan dan dihasilkan, demi terwujudnya kedaulatan di wilayah NKRI. ”Untuk Satgasmar Ambalat IX, wujudkan kerja sama yang baik antaranggota, maupun dengan satuan dan instansi pemerintah. Jaga citra dan nama baik korps marinir, dengan berpegang teguh pada Sapta Marga, sumpah prajurit, 8 wajib TNI dan Trisila TNI AL,” tegasnya. Dankormar beserta istri dan rombongan tiba di Nunukan pada Jumat (3/4), kemudian langsung berangkat menuju Pulau Sebatik. Rombongan menginap di sebuah hotel di Sebatik dan keesokan harinya (Sabtu), Dankormar meresmikan 5 pos pamtas di Sebatik. Rombongan tersebut, terdiri dari Danguspurla Armatim Laksma TNI RM Harahap, Danpasmar-1 Brigjen TNI (Mar) I Wayan Mendra, Danlanmar Surabaya Kolonel Marinir Amirudin Harun, Asops Kormar Kolonel Marinir Ivan Titus, Aspers Kormar Kolonel Marinir Gatot Suprapto, Wadan Lantamal VIII Kolonel Marinir RM Trusono, Asops Kaspasmar-1 Kolonel Marinir I Made Wahyu Santoso, Asintel Kaspasmar-1 Letkol Marinir Edi Zuardi. Sedangkan rombongan dari Nunukan, Wabup Kasmir Foret, Pgs Danlanal Nunukan Mayor Laut (E) Mungkarlani, Kapolres AKBP Purwo Cahyoko, Dandim Letkol Inf Basri, Danyon 613/RjA Letkol Inf Robert Giri diwakili Wadan Mayor Inf Dedi Hardono, Ketua PN Nunukan Jhon Halasan Butar Butar SH MH, Kakandepag H Abu Ubaedah, Camat Sebatik dan Camat Sebatik Barat. ”Saya harapkan, dengan adanya penugasan baru, Satgasmar Ambalat IX juga memiliki semangat dan motivasi baru untuk menjaga kedaulatan NKRI, serta dapat berkoordinasi baik dengan aparat dan pejabat setempat,” kata Wabup Kasmir Foret. Ia juga mengaku bangga dengan masyarakat yang telah menghibahkan tanahnya, untuk digunakan sebagai pos pamtas di Sebatik. ”Terbukti, masyarakat memiliki kesadaran tinggi untuk membela dan menjaga keutuhan NKRI di perbatasan,” tandasnya.(dew)

Jumat, 20 Maret 2009

23 Nelayan Vietnam Ditangkap

23 Nelayan Vietnam Ditangkap

Nunukan Zoners Team Pontianak — Kapal Pengawas Hiu 03 milik Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menangkap satu kapal nelayan Vietnam yang mencuri ikan di perairan Indonesia, tepatnya di Zona Ekonomi Eksklusif di Laut China Selatan, Sabtu (14/3). Akan tetapi, 18 kapal asing lainnya yang pada saat bersamaan diduga kuat juga mencuri ikan di wilayah itu lolos dari penangkapan. "Pengejaran kapal nelayan asing itu sempat terkendala ombak besar setinggi 3-5 meter sehingga hanya ada satu kapal yang berhasil ditangkap," kata Kepala Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pontianak Bambang Nugroho, Rabu (18/3). Kapal nelayan Vietnam berbobot 30 grosston yang ditangkap tersebut memiliki nomor lambung TG 91701 TS, dinakhodai Doan Hai Van (42). Kapal nelayan yang menggunakan alat tangkap purse seine atau pukat cincin itu diawaki 22 anak buah kapal.

Kapal bersama semua nelayan Vietnam yang ditangkap itu dibawa ke Pontianak untuk menjalani proses hukum lebih lanjut. Kapal tersebut tiba di Pontianak dengan kawalan KP Hiu 03, Selasa kemarin. Menurut Bambang, nelayan-nelayan Vietnam itu diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang No 31/2004 tentang perikanan karena melakukan penangkapan ikan di wilayah Indonesia tanpa memiliki surat izin usaha perikanan (SIUP) maupun surat izin penangkapan ikan (SIPI). Proses hukum hanya dilakukan kepada nakhoda dan kepala kamar mesin, sedangkan 21 ABK lainnya akan dideportasi.

Saat ditangkap, tidak ada ikan hasil tangkapan di kapal nelayan Vietnam. Hanya ada sejumlah ikan yang masih tersangkut di alat tangkap yang mereka gunakan. Menurut Bambang, kapal Vietnam yang ditangkap tersebut kemungkinan besar baru saja bongkar muat di tengah laut. Penangkapan ikan oleh nelayan asing biasanya dilakukan secara berkelompok dan didukung satu kapal induk. "Setelah melakukan penangkapan, ikan yang mereka tangkap dipindah ke kapal induk yang juga berada di tengah laut," katanya. Kapal nelayan yang tertangkap itu memiliki daya angkut 20 ton ikan. Jika harga ikan rata-rata berkisar Rp 10.000 tiap kilogram, maka kerugian yang diderita Indonesia akibat pencurian ikan oleh kapal itu dalam sekali angkut mencapai Rp 200 juta.

Wilayah perairan Indonesia di Laut China Selatan, khususnya di daerah lintang enam, menurut Bambang, memiliki potensi tangkapan ikan yang cukup besar. Wilayah itu berbatasan dengan wilayah perairan sejumlah negara lain, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam, sehingga cukup rentan terjadi pencurian ikan. Oleh karena itu, DKP terus mengintensifkan patroli kapal pengawas di wilayah itu untuk menekan pencurian ikan yang dilakukan kapal-kapal nelayan asing. WHY

Masih Banyak Algaka Belum Ditertibkan

Masih Banyak Algaka Belum Ditertibkan

Nunukan Zoners Team : Ketua Panwaslu Nunukan Abdul Kadir mengaku prihatin bila melihat ada balita yang dibawa orang tuanya untuk mengikuti kampanye partai tertentu. Ia juga mengatakan, pihaknya susah menindak hal-hal yang diduga sebagai eksploitasi anak dalam kampanye di Nunukan. ”Agak susah juga menindaknya. Karena alasan yang kami terima, jika orang tua ikut kampanye, maka anaknya tidak ada yang menjaga dirumah. Akhirnya anaknya dibawa ikut kampanye,” ungkapnya. Kendati demikian, hingga saat ini pihaknya masih memaklumi dan memberi toleransi dengan alasan itu. ”Kalau anaknya diberi alat peraga kampanye (algaka) seperti memakaikan baju parpol, itu pelanggaran. Sementara ini kami memberi pengarahan saja kepada orang tua untuk hati-hati membawa anaknya kampanye,” terangnya. Sebelum parpol melakukan kampanye pun, Panwaslu mengadakan sosialisasi dan pendekatan untuk meminimalisasi pelanggaran dalam kampanye oleh parpol. ”Tapi sampai sekarang, belum ada pelanggaran yang dilakukan parpol dalam kampanye terbuka,” jelasnya. Jika Panwaslu belum menemukan pelanggaran dalam kampanye terbuka, tidak sama halnya dalam kampanye tertutup atau kampanye lainnya. ”Hampir semua parpol melanggar. Karena banyak algaka parpol yang dipasang dan ditempatkan di tempat yang dilarang,” tegasnya. Menyikapi hal ini, Panwaslu telah menyurati parpol, KPU dan Satpol PP sebagai eksekutor. Tapi sampai sekarang, masih ada sebagian algaka yang belum ditertibkan. ”Bisa dilihat di kawasan Bandara Nunukan, masih banyak ditempati algaka parpol. Tugas KPU dan Satpol PP untuk menindaklanjuti dan menertibkan masih ngambang,” tukasnya yang kemudian mengaku, pelanggaran parpol sebelum kampanye terbuka juga telah diserahkan ke KPU. Panwaslu, katanya, hanya bertindak sebagai fasilitator dan mediator dalam pelanggaran administrasi, jadi sudah sepantasnya Satpol PP mengambil tindakan penertiban algaka yang melanggar aturan. ”Padahal penertiban ini ’kan sudah ada Perdanya dan ada titik-titik tempat pemasangan algaka yang dilarang,” ujarnya. (dew)

Jumat, 13 Maret 2009

Kasal Tegaskan Batas Wilayah di Ambalat Belum Selesai

Kasal Tegaskan Batas Wilayah di Ambalat Belum Selesai

Nunukan Zoners Ambalat : Kasal Laksamana TNI Tedjo Edhy Purdijatno mengemukakan bahwa hingga kini antara Indonesia dengan Malaysia belum selesai menentukan batas wilayah laut, khususnya di Perairan Ambalat. "Malaysia dengan kita memang beda paham soal batas wilayah itu," katanya, seusai pelantikan perwira lulusan Pendidikan Pembentukan Perwira di Komando Pengembangan dan Pendidikan TNI AL (Kobangdikal), Surabaya, Senin. Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso dalam dengar pendapat dengan DPR, Selasa (21/10), mengungkapkan pasukan Malaysia masih kerap melakukan pelanggaran wilayah di kawasan Blok Ambalat. Menurut Kasal, kalau Indonesia menganggap bahwa kapal Malaysia melakukan pelanggaran batas wilayah, Malaysia juga menganggap kapal Indonesia demikian. Karena itu memang harus ditentukan batas wilayah. Kasal mengemukakan bahwa dua pekan lalu, masalah itu telah ditindaklanjuti dengan rapat di Kementerian Polhukam yang diikuti Menko Polhukam, Menlu, Panglima TNI dan para kepala sataf angkatan serta Kapolri. "Dalam rapat itu kita bahas bahwa Malaysia memang masih banyak melakukan pelanggaran di Ambalat, sementara ini kapal-kapal mereka hanya kita usir keluar melalui komunikasi atau kita giring," ujarnya. Ia mengemukakan, sementara ini perkembangan sitasi di wilayah itu sudah dilaporkan secara berjenjang dari Pangarmatim, Kasal, Panglima TNI, Menhan dan kepaa Menlu untuk dibuatkan nota diplomatik ke Malaysia. Mengenai kapal TNI AL yang berpatroli di kawasan itu, Kasal mengemukakan ada lima KRI yang memang selalu siaga. Kapal-kapal itu disiagakan dan setiap beberapa bulan sekali digantikan dengan kapal lainnya. (*) Surabaya (ANTARA News)

Kisah Sedih di Wilayah Perbatasan


*) sebuah kapal ilegal milik pengusaha Malaysia yang tertangkap melakukan pencurian ikan di Perairan Sebatik. Pencurian ikan oleh negara tetangga masih menjadi masalah serius di wilayah ini.

Teks dan Foto : Wiko Rahardjo

Puluhan tahun, banyak kapal-kapal ikan asal Kalimantan Timur (Kaltim) mendaratkan hasil tangkapannya di Malaysia. Negara Indonesia sudah dirugikan miliaran rupiah. Sementara legalisasi pukat hela di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia masih menjadi perdebatan. Rasa miris menghujam ketika saya menginjakan kaki di Sebatik.Jarum jam tepat menunjukan pukul setengah satu siang ketika, Saya beserta rombongan wartawan ibukota lainnya tiba di Pelabuhan Tarakan, Kalimantan Timur (Kaltim). Siang itu, kami atas ajakan Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen P2SDKP), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) akan melakukan perjalanan laut menuju Pulau Sebatik, pertengahan Februari lalu.

Armada yang kami tumpangi adalah Kapal Patroli Hiu Macan 003 yang mempunyai cakupan wilayah operasi di perairan Indonesia bagian timur. Kapal ini meninggalkan pelabuhan dengan kecepatan 14 knot/jam. Beruntung ombak di laut sedang tak begitu tinggi sehingga kapal yang kami tumpangi melaju dengan tenang.

Perjalanan dari Tarakan menuju Sebatik selanjutnya kami tempuh dalam kurun waktu lima jam. Sekitar pukul tujuh malam, kami mendarat di sebuah dermaga kayu yang menjorok ke tengah laut. Kami harus berhati-hati ketika memanjati tangga dermaga tersebut. Suasana begitu gelap dan temaram. Hanya ada penerangan dari beberapa buah lampu bohlam dan pijar yang tak begitu terang.Namun ketika pandangan kami arahkan ke timur, benderang cahaya begitu jelas kami lihat jauh di seberang pulau. Kami bayangkan betapa ramai dan meriahnya kehidupan di sana. Itulah daratan Tawao, Malaysia.

Sebatik adalah sebuah pulau kecil terluar yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Di darat, pulau ini terbagi dua menjadi Sebatik Indonesia dan Sebatik Malaysia. Sementara di laut, pulau ini berhadap-hadapan dengan daratan Tawao. Lebih jauh ke arah timur terletak Pulau Sipadan dan Ligitan yang dulu pernah menjadi sengketa antara Indonesia-Malaysia. Miris karena Mahkamah Internasional akhirnya memutuskan dua pulau ini sebagai bagian kedaulatan negeri jiran tersebut.

“Mereka makmur karena nelayan Indonesia,” ujar H.Yusuf, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Cabang Kabupaten Nunukan, Kaltim yang menyambut kedatangan kami. Cerita yang mengalir selanjutnya adalah tentang keprihatinan dan permasalahan yang selama ini menggelayuti kehidupan nelayan di Sebatik dan wilayah-wilayah di Kaltim lainnya.

“Bayangkan selama puluhan tahun, banyak nelayan kami yang mendaratkan dan menjual ikan tangkapannya ke Malaysia dengan harga murah,” kata Yusuf. Pemerintah Malaysia, lanjut Yusuf, tentunya dengan senang hati menerima kedatangan mereka.

“Jika anda nelayan yang datang dengan membawa ikan maka tak perlu paspor untuk masuk Tawao,” katanya lagi. Alhasil selama puluhan tahun pula Indonesia tak menikmati keuntungan berarti dari pengeksplotasian sumber daya ikan di perairan tersebut.
Wajar jika pada akhirnya, walaupun hanya negara dengan luas wilayah yang kecil,

Malaysia begitu makmur. Pembangunan ekonomi terus menerus dilaksanakan sebagai unjuk kemakmurannya. Sebatik Indonesia pun semakin tenggelam dalam kemiskinannya. Hal ini tentunya tak akan pernah terjadi jika saja Pemerintah Indonesia sudah jauh-jauh hari memperhatikan kehidupan masyarakat di pulau perbatasan tersebut. “Kami tak memiliki cold storage, industri pengolahan, maupun pelabuhan yang memadai untuk menerima ikan-ikan tangkapan nelayan,” kata Suryanto, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Nunukan.

Karena itu, menurutnya, tak bisa disalahkan jika pada akhirnya banyak nelayan di Kaltim yang memasok hasil tangkapannya ke Malaysia. Ironis memang, entah sampai kapan perairan kita menjadi surga bagi pencuri.

Jumat, 06 Maret 2009

Dari Raja Ampat, Jangan Lupa ke Kepulauan Widi

Nunukan Zoners Ternate: Obyek wisata Kepulauan Widi di Kabupaten Halmahera Selatan menjadi andalan bagi pemerintah setempat untuk menarik minat wisatawan domestik dan mancanegara ke daerah itu. Bupati Halmahera Selatan Muhammad Kasuba, Jumat (6/3), di Labuha mengatakan, Pemkab Halsel menjadikan Kepulauan Widi menjadi andalan antara lain karena pantai pasir putihnya yang tak kalah indah dibandingkan Pantai Kuta di Bali. Juga panorama bawah lautnya yang keindahannya setara dengan panorama bawah laut di Raja Ampat, Papua. Bahkan, Kata Bupati Muhammad Kasuba, panorama bawah laut di Kepulauan Widi memiliki lebih indah dibanding taman laut lainnya di Indonesia, terutama terumbu karangnyanya yang secara umum masih dalam kondisi baik. Di Kepulauan Widi juga ada hutan yang masih alami dan dihuni berbagai jenis burung. Untuk memasarkan Kepulauan Widi, pemda setempat telah menjalin kerja sama dengan Pemkab Raja Ampat untuk mengarahkan wisatawan juga ke Kepulauan Widi setelah dari Raja Ampat.

Penerbangan dari Manado

Obyek wisata Kepulauan Widi terletak di perbatasan antara Kabupaten Halmahera Selatan dan Kabupaten Raja Ampat. Untuk mencapai Kepulauan Widi, dari Raja Ampat hanya dibutuhkan waktu sekitar 4 jam menggunakan speed boat. Pemkab Halsel saat ini juga tengah mengupayakan penerbangan langsung dari Manado ke Labuha, Ibu Kota Kabupaten Halsel, sehingga wisatawan yang berkunjung di Manado bisa dengan mudah melanjutkan kunjungan ke Kepulauan Widi. Prasarama menuju Kepulauan Widi juga sdang dibenahi. Akomodasi bagi wisatawan, seperti hotel dan penginapan memang belum ada, tetapi wisatawan bisa menggunakan rumah penduduk. Bisa juga menginap di hotel-hotel di Labuha. Cara termudah saat ini untuk mencapai Kepulauan Widi adalah melalui Ternate. Dari Ternate wisatawan bisa ke Labuha menggunakan kapal laut atau pesawat perintis (dua kali seminggu), selanjutnya ke Kepulauan Widi menggunakan kapal laut melalui Gane Timur.MSH

Sesama Parpol Dilarang Saling Provokasi

Laporan wartawan PERSDA Eko Sutriyanto
Nunukan Zoners Jakarta — Markas Besar (Mabes) Polri meminta selama pelaksanaan kampanye hingga pemilihan presiden para pimpinan partai politik tidak saling memprovokasi sehingga selama proses pelaksanaan pesta demokrasi Pemilu 2009 bisa berlangsung lancar dan aman. "Kita meminta perhatian pimpinan parpol tidak memprovokasi untuk menghindari terjadinya kesinggungan antara parpol yang satu dengan yang lain sehingga pemilu bisa berlangsung lancar," ungkap Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Abubakar Nataprawira di Jakarta, Jumat (6/3). Dia juga meminta agar para parpol mematuhi aturan UU No 10/2008 tentang Pemilu. Mabes Polri bersama dengan pengurus parpol peserta pemilu juga akan menandatangani perjanjian berkomiten melaksanakan pemilu aman dan tertib sehingga Pemilu 2009 bisa berjalan seperti tahun 2004 yang dapat pengakuan dunia bahwa bisa berjalan sukses, aman, tertib, dan damai. "Hari ini juga kita mengadakan pertemuan dengan pimpinan parpol untuk sosialisasi penanganan pelanggaran yang berkaitan dengan UU Pemilu No 10/2008, menyampaikan kesiapan Polri mengamankan pelaksanaan pemilu selama kampanye yang terbuka tanggal 16 Maret sampai 5 April maupun pemungggutan suara presiden/wakil," ungkapnya. Dalam kesempatan itu, Polri juga melakukan sosialisasi kepada pengurus parpol peserta kampanye terkait dengan Peraturan Kapolri No 6/2008 tentang Tata Cara Pemberitahuan Kampanye.

Perlu Waktu 5-10 Menit Conteng Surat Suara


Nunukan Zoners - Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Nunukan berkeyakinan angka suara sah pada pemilu legislatif nanti di atas 70 persen, kendati pesta demokrasi kali ini menggunakan cara baru. Keyakinan KPUD Nunukan tersebut didasari pada hasil simulasi yang mereka lakukan, baik kepada masyarakat dan para pemilih pemula. Hasil simulasi, angka suara sah melebihi 70 persen. Mengacu pada angka-angka tadi, menurut Ketua Divisi Sosialisasi, Teknis Penyelenggara dan Data Pemilih KPUD Nunukan Sari Dewi Bakhtiar, sebenarnya masih dapat ditingkatkan mengingat waktu pelaksanaan pemilu masih tersisa satu bulan lagi. Artinya masih ada waktu untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Pihaknya mengaku, dalam upaya mencapai target yang lebih optimal, berbagai sosialisasi di berbagai tempat telah dilakukan, diantaranya membagikan selebaran sosialisasi ke masyarakat yang berada di pasar-pasar, di jalan raya dengan target para pengendara, ke sekolah-sekolah, bahkan sosialisasi telah dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan (LP). “Saya berharap, sosialisasi kepada masyarakat, tidak hanya dilakukan oleh KPUD Nunukan akan tetapi juga oleh partai politik kepada konstituennya,” harap Sari Dewi. Dengan cara conteng atau centang, menurut Dewi, cukup menemui masalah dalam persoalan waktu. Hasil simulasi khususnya kepada masyarakat yang berusia lanjut, membutuhkan waktu selama 10 menit bahkan ada yang lebih. Padahal idealnya 5 menit saja, untuk empat lembar surat suara yang terdiri kertas suara untuk DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota dan surat suara DPD. Banyaknya partai politik serta caleg yang ada di dalam surat suara merupakan salah faktor yang mempengaruhi lamanya waktu karena ukuran surat suara yang lebih besar dari bilik suara. Terbatasnya waktu pada Pemilu 9 April mendatang, yakni hanya 5 jam (pukul 07.00-12.00), untuk mengantisipasi tidak cukupnya waktu, maka sejumlah TPS kemungkinan akan ditambah bilik suara, misalkan dari 4 bilik menjadi 6 bilik suara. Disebutkan Sari Dewi, salah satu penyebab suara tidak sah adalah masyarakat yang buta huruf, dimana mereka diperkirakan akan mengalami kesulitan untuk mencari yang akan dipilihnya karena tidak bisa membaca. “Bagi yang buta huruf kita juga beri solusi, dengan cara didampingi oleh keluarga dan petugas KPPS pada saat di bilik suara,” jelasnya. (ogy)

Polwan Boleh Berjilbab

JAKARTA - Imbauan Kapolda Jatim Brigjen Pol Anton Bachrul Alam agar polisi wanita (polwan) yang beragama Islam mengenakan jilbab bergaung sampai ibukota. Markas Besar Polri memberi restu dan tidak melarang. “Silakan, tidak ada masalah dan sah,” ujar Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Abubakar Nataprawira di kantornya kemarin (5/3). Imbauan Anton yang pernah menjabat wakil kepala Divisi Humas Mabes Polri itu dianggap sebagai imbauan personal. “Secara khusus tidak ada peraturan yang melarang. Jadi, kalau sebatas imbauan tidak masalah. Bisa ditaati bisa juga tidak,” kata Abubakar. Pemakaian jilbab tidak terbatas untuk pakaian dinas harian, tapi juga pakaian operasional. Untuk seragam dinas harian, jika sebelumnya bagian bawahnya memakai rok pendek di atas lutut, kini para polwan bisa menggantinya dengan rok panjang dipadu atasan panjang dan jilbab cokelat tua. Sedangkan untuk pakaian operasional, roknya bisa diganti celana panjang dengan paduan sama. Menurut Abubakar, Mabes Polri tidak mengeluarkan kebijakan secara spesifik soal jilbab. “Diserahkan pada masing-masing,” kata mantan Kapolres Bogor itu. Imbauan Anton juga disambut baik oleh kalangan DPR RI. Wakil Ketua Komisi III (bidang Hukum dan Kepolisian) Soeripto menilai, jilbab bagi polwan tidak mengganggu kinerja. “Sebaliknya, justru bisa meningkatkan prestasi,” ujarnya. Anggota dewan dari daerah pemilihan Jawa Timur itu menambahkan, dari sisi teknis, jilbab juga banyak manfaat. “Jika bertugas dalam cuaca panas atau cuaca dingin, akan lebih terlindungi,” katanya. Soeripto menilai jilbab bagi polwan bisa diterapkan secara menyeluruh ke seluruh satuan Polda di Indonesia. “Tentu, tidak perlu diwajibkan. Yang jelas, bagi yang non-Muslim tetap dipersilakan dengan seragam yang ada sekarang,” tambahnya. Anggota Komisi Kepolisian Nasional Adnan Pandu Praja juga sependapat. “Di beberapa daerah dengan spesifikasi khusus seperti Aceh akan sangat membantu,” tuturnya. Jilbab juga tidak melanggar undang-undang kepolisian. “Jadi, secara prinsip oke. Bisa diterapkan kapan saja,” ucapnya. Penggunaan jilbab sekarang sudah dimulai di lingkungan sekretaris pribadi Kapolda Jatim dan Polwil Bojonegoro, Jawa Timur.(rdl/jpnn)

Selasa, 03 Maret 2009

Wapres Dukung Perbatasan Kaltim sebagai "Beranda Republik"

Wapres Dukung Perbatasan Kaltim sebagai "Beranda Republik"

Nunukan Zoners Jakarta - Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla menyatakan dukungannya dengan rencana pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yang akan mengubah perbatasan Kalimantan Timur dengan Malaysia yang selama ini dikenal sebagai "halaman belakang" menjadi "halaman depan", yaitu sebagai "Beranda Republik". Dengan akan dijadikan "Beranda Republik", maka kawasan perbatasan Kaltim dan Malaysia sepanjang 1.034 kilometer akan dibangun sedemikian rupa agar sama dengan perbatasan yang kini tengah dibangun oleh Malaysia. Hal itu disampaikan Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek kepada pers, seusai bertemu Wapres Kalla di Istana Wapres, Jakarta, Rabu (4/3) siang. "Wapres Kalla menyatakan dukungannya dengan rencana pembangunan di Kaltim, termasuk di daerah perbatasan," tandas Awang, mengutip Wapres Kalla. Menurut Awang, pemprov akan membangun daerah perbatasan sebagai 'beranda republik' atau daerah yang di depan dan bukan daerah belakang sehingga nantinya bisa bersaing dengan Malaysia. "Kita akan bangun daerah sepanjang 1.034 KM untuk perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) untuk menarik tenaga kerja haram yang kini ada di Malaysia kembali ke Indonesia sehingga mereka tak hanya jadi pekerja, akan tetapi juga pemilik lewat plasma-plasma," ujar Awang. Menurut Awang, "Beranda Republik" akan memanfaatkan kerjasama Indonesia dengan Malaysia yang harus saling menguntungkan di dua belah pihak. "Di situ akan dibuka tujuh pintu masuk perbatasan, yang akan dibenahi dulu sebelum benar-benar dibuka. Kita harapkan, surplus beras di daerah Krayan, yang kualitas berasnya sangat bagus itu benar-benar bisa distribusikan ke daerah lainnya, " tambah Awang. Selama ini, umumnya kondisi di kawasan perbatasan sangat memprihatinkan. Selain kurang mendapatkan perhatian dari pusat dan daerah, kawasan itu menjadi pintu lintasan pencurian kayu dan perdagangan manusia serta narkoba.HAR

Polres Nunukan Bongkar Illegal Logging Cukong Malaysia


Polres Nunukan Bongkar Illegal Logging Cukong Malaysia

Nunukan Zoners - Polres Nunukan berhasil menangkap sedikitnya delapan orang pelaku illegal logging kemarin (3/3). Para pelaku melakukan operasi mereka secara ilegal di daerah Linuang Kayam, Kecamatan Sembakung, Kabupaten Nunukan, dengan cara membangun tempat penggergajian kayu olahan. Kapolres Nunukan AKPB Drs Purwo Cahyoko menjelaskan, barang bukti yang disita berupa 127 batang kayu gelondongan, 104 batang kayu bantalan, dan puluhan kubik kayu olahan. Menurut dia, kegiatan para pelaku terungkap berkat informasi masyarakat. Berdasar informasi tersebut, polisi mendatangi lokasi. Hasilnya, polisi menemukan kapal yang sedang memuat kayu olahan. Dari keterangan anak buah kapal, polisi melacak asal-usul kayu tersebut. Di lokasi, petugas menemukan sawmill yang dioperasikan secara ilegal. "Total, kami mengamankan delapan orang. Lima orang adalah ABK kapal, sedangkan tiga ditangkap di sawmill," terang Kapolres. Informasinya, ada belasan orang yang bekerja di sawmill ilegal itu. Namun, sebagian besar tidak ada di tempat saat penggeberekan berlangsung. (ogy/jpnn/ruk)

Patok Batas di Kapuas Hulu Berubah Tempat

Patok Batas di Kapuas Hulu Berubah Tempat

PONTIANAK, TRIBUN - Panglima Kodam (Pangdam) VI/Tanjungpura, Mayjen Tono (TNI) Suratman mengatakan, di perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di Kecamatan Banua Martinus, Kabupaten Kapuas Hulu, patok-patok batas telah berubah tempat dari posisi semula. Penyebabnya, pembukaan areal perkebunan kelapa sawit oleh pengusaha Malaysia. " Ditemukan perubahan-perubahan patok, bergeser. Tempatnya di Kecamatan Banua Martinus, di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK)," ungkap Mayjen Tono Suratman, Senin (2/3), di Pendopo Gubernur Kalimantan Barat. Pangdam Tono Suratman menambahkan, pihak Malaysia mengatakan tidak ada kerusakan dan hilangnya beberapa patok perbatasan di wilayah Indonesia. Karena, ujar alumnus AKABRI 1975 ini, kawasan tersebut lebih mudah di jangkau di Malaysia. "Mereka (Malaysia) mudah katakan tidak ada kerusakan. Tapi kita lihat ada kerusakan patok patok batas di wilayah Indonesia," jelasnya. Penyebab patok-patok yang rusak dan hilang itu, kata Tono Suratman, adanya pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Banua Martinus. Tanda-tanda itu ada, dengan ditemukannya pembukaan jalan-jalan baru yang bisa dilewati oleh alat-alat berat milik perusahaan kelapa sawit itu. "Jalan yang dibuka (dengan menghilang patok batas negara) sebatas untuk alat-alat berat. Lebarnya sekitar 5-6 meter," katanya di sela-sela serah terima jabatan Ketua Koordinator Forum Kerjasama Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan (FKRP2RK) dari Gubernur Kalimantan Tengah, A Teras Narang ke Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis. Sementara itu, Ketua Staf 1 Divisyen Infanteri Malaysia di Sarawak (setingkat Kodam di Indonesia), Kol Zolkifli Hashim, mengatakan kehilangan patok di perbatasan karena tidak ada yang jaga sama sekali oleh tentara. Namun, ujar Ketua Staf 1 Divisyen ini, patok-patok yang hilang atau rusak tersebut, tidak akan bisa menghilangkan garis batas yang telah disepakati kedua negara. Tidak mungkin, lanjutnya, pihak tentera dan Malaysia memindah-mindahkan patok batas dari kedudukan semula. "Kita dapat informasi tentang itu, TDM dan TNI AD, pergi bersama-sama untuk memperbaikinya. Tidak berlaku saling dipindahkan," tegasnya saat menjawab pertanyaan Tribun di Markas 1 Divisyen Malaysia. Sejumlah wartawan cetak dan elektronik dari Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur diundang oleh divisi tentara yang berpusat di Kuching itu, guna melihat hari ulang tahun Tentera Diraja Malaysia ke-76. "Tidaklah mungkin pula pemerintah membuat batas negara seperti Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dengan Timur. Tidak akan dilakukan," ujarnya. Zulkifli juga membantah adanya polemik antara TNI AD dan TDM tentang garis dan patok batas negara. Jika ditemukan persoalan seperti itu, jelasnya dengan suara agak meninggi, segera diselesaikan saat itu juga. "Tidak dibawa hingga ke Mabes masing-masing, tapi diselesaikan langsung diperbatasan oleh perwira-perwira di sana," ujar perwira menengah keturunan Miangkabau ini. "Sudah jelas sistem dan mekanisme penyelesaiannya. Jangan diapi-apikan masalah ini, sehingga bawa kesan negatif terhadap hubungan kedua negara serumpun ini," pintanya. Namun, untuk patroli bersama menjaga daerah perbatasan di Provinsi Kalimantan Tengah mengalami hambatan. Pasalnya, kondisi topografis di sana terkenal berat dengan tingkat kecuraman yang tajam dan berbukit-bukit.
"Di daerah Sarawak-Kalimantan Tengah, kita tidak bisa ronda bersama. Daerahnya sulit sekali. Rencananya kita juga akan melakukan ronda bersama,"kata Zulkifli sambil menutup konferensi pers dengan wartawan Indonesia dan Malaysia. (Tribun Pontianak/Fakhrurrodzi)

Hutan Bakau, Lingkungan Akuatik yang Mulai Rusak

Hutan Bakau, Lingkungan Akuatik yang Mulai Rusak
Oleh
Teuku Kemal Fasya

Jika Anda penggila wisata kota pesisir, jangan lupakan Langsa. Sejarah Langsa sebagai kota pesisir dikenal lama di semenanjung Lamuri (Aceh), selain Bandar Aceh dan Meulaboh. Secara historis kota ini menjadi batu loncatan islamisasi Sumatera Timur, dengan tokoh utamanya Sultan Muhammad Kampai atau dijuluki Teungku Keramat Panjang. Secara antropologis Langsa terkenal sebagai kota multikultur, karena pembauran pelbagai etnis: Jawa, Batak, Melayu, Tapanuli, China, Tamil, dll, sehingga menjadi satu-satunya “kota yang terberkati” di masa konflik. Satu yang pasti menyenangkan dari Langsa adalah pelabuhannya. Jalan menuju Kuala Langsa dilindungi hutan bakau yang rimbun. Matra iklim pun membalur kenyamanan, karena cuaca yang sering berawan dan hujan. Hidrografi kota pelabuhan yang memiliki dua pintu masuk ini pun cukup tenang. Salah satunya karena hempasan angin darat dan laut di Selat Malaka teredam oleh padatnya hutan. Namun, kini sejarah hutan akuatik itu mulai nelangsa. Bakau yang lebat, tempat bergantungnya ratusan fauna seperti kera, bangau, dan tupai mulai raib. Statusnya sebagai hutan lindung tidak menyurutkan pembabatan massal. Pelakunya masyarakat sekitar. Setahun terakhir hutan bakau Kuala Langsa telah hilang separuhnya. Bandul waktu mengumpulkan satu lagi obituari hutan bakau nusantara, dan satu-satunya rimba bakau potensial di Nanggroe Aceh Darussalam.

Lamurnya Hukum
Jika diteliti lebih jauh, kerusakan hutan bakau di Indonesia bukan hanya disebabkan bergeraknya tangan-tangan globalisasi dalam mengembangkan proyek eksploitasi, seperti hutan darat, la-han gambut, atau terumbu karang, tapi juga problem riil masyarakat pesisir. Menurut lembaga pangan PBB, FAO, pemanfaatan hutan bakau Indonesia memberikan tambahan devisa hingga 2 miliar dolar AS pertahun, tapi tidak berimbas pada kesejahteraan masyarakat pesisir. Hasil riset Asian Development Bank (ADB), angka kemiskinan absolut di Indonesia sebagian besar diderita ma-syarakat pesisir (80 persen). Hal ini memberikan gambaran bahwa pemanfaatan potensi hutan akuatik di Indonesia tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama ekonomi. Pengalihfungsian hutan bakau menjadi areal pertambakan telah memupuk proses ketergantungan baru. Hampir seluruh pekerjanya adalah masyarakat lokal yang telah menjadi buruh upah murah dari tanah-tanah yang dahulunya mereka miliki. Krisis ekonomi tahun 1997 telah menyebabkan masyarakat menjual tanah-tanah miliknya, dan memanfaatkan hutan adat atau lindung sebagai tempat bergantung. Belum lagi pengalihfung-sian hutan untuk proyek infrastruktur. Kasus korupsi yang sedang merebak saat ini tentang pengalih-fungsian 600 hektar hutan bakau untuk pembangunan pelabuhan di Tanjung Siapi-api, Su-matera Selatan, menunjukkan fenomena kerusakan permanen bagi akuatik hijau yang seharusnya mampu menghadang abrasi dan produsen oksigen murni bagi daerah pesisir. Akibatnya mudah ditebak. Hutan bakau Indonesia yang sebenarnya terluas di dunia mengalami proses deforestasi ekstrem. Dari 8,6 juta hektare hutan bakau di tahun 1986, kini hanya tersisa kurang 2 juta hektar. Peraturan menteri kehutan yang melarang ekspor kayu bakau tidak menyurutkan praktik pedagangan ilegal. Arang bakau meninggalkan efek harum panggangan dan disenangi konsumen Jepang, Hong Kong, dan Amerika. Bukan rahasia, sebagian besar berasal dari black market Indonesia. Kontradiksi antarperaturan yang pro-konservasi versus pro-eksploitasi semakin berkibas-libas. Ini jelas terlihat dari penerapan Perpu No. 1/2004 yang kemudian berubah menjadi UU No. 19/2004 tentang (eksploitasi) hutan. Pemantik bom waktu yang ditinggalkan Megawati di akhir masa pemerintahannya dipercepat ledakannya oleh Yudhoyono melalui peraturan organik (PP No. 2/2008 tentang pendapatan negara bukan pajak dari eksploitasi hutan lindung). Bahkan kini, Menteri ESDM Pur-nomo Yusgiantoro tengah bergiat me-ngeluarkan Keppres yang memperluas kesempatan eksploitasi hutan bagi pemain baru. Apa gunanya peraturan menteri yang melarang ekspor jika secara internal pemerintah tidak mengurangi ego eksploitasinya atas hutan-hutan nusantara?

Mencabut Kemanusiaan
Secara nasional pemerintah seperti tidak memiliki pilihan maknyus, di te-ngah krisis minyak global yang entah kapan usai. Namun efek kerusakan lingkungan dan kebangkrutan ekonomi jangka panjang juga perlu dipertimbangkan. Makanya, alih-fungsi hutan seperti tidak bersanksi tegas, karena pemerintah juga tidak memiliki program berkelanjutan dalam menangani problem kemiskinan masyarakat pesisir.. Sima-la-kama ini hanya akan terpecahkan jika pemerintah kembali memfungsikan hukum adat, menertibkan logika hukum dan mencabut peraturan-peraturan yang melegalkan praktik komersialisasi hutan, serta mengadvokasi problem kemiskinan masyarakat pesisir dengan program berkesinambungan dan pro lingkungan. Prinsip keseimbangan ekologis sebenarnya dimiliki semua komunitas hutan, baik pesisir atau pedalaman. Di Aceh dikenal hukum adat yang dikelola oleh pang laot. Ia tidak hanya mengatur lalu-lintas pelayaran tapi juga pemanfaatan hutan dan biosfer bakau. Prinsip produksi-konsumsi hutan bakau oleh masyarakat pesisir tempo doeloe sebenarnya tidak sampai menganggu ekosistem utama. Sanksi adat yang kuat dan religio-magis dipercaya mencegah tindakan berlebihan atas hutan. Saat ini kebaikan adat tergerus rasionalitas kapital yang menawarkan mimpi perubahan dan hedonisme. Pembangunan fasilitas komersial seperti hotel dan restoran di wilayah hutan bukan hanya mengubah kultur tapi juga perbudakan ekonomi masyarakat lokal. Masyarakat pesisir paling menjadi babu, office boy, dan satpam di tanah nenek moyang mereka. Mereka tuan tanpa tanah dan harga diri. Moralitas adat perlu kembali dihidupkan. Mencabut sebuah pohon bakau tanpa alasan yang jelas sama de-ngan mencabut satu nilai kemanusiaan masyarakat lokal. Sejuta pohon tercabut sama dengan sejuta resiko yang bakal mereka terima. Pelan atau cepat sejarah kerusakan akan terulang, dan pasti meninggalkan tragedi kemanusiaan.

Penulis adalah dosen Antropologi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.

Nasionalisme Kaum Intelektual

Nasionalisme Kaum Intelektual


Di tengah kehidupan negara-bangsa, peranan kaum intelektual sangat dibutuhkan dan kontribusinya begitu besar bagi pertumbuhan perubahan. Revolusi sosial yang diteriakan dan diaktualisasi massa, semula digagas dan ditentukan oleh peranan kaum intelektual. Di bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, teknologi, dan semua dimensi yang dibutuhkan dalam masyarakat, keterlibatan intensif kaum intelektual didalamnya menjadi semacam kemestian. Kaum intelektual bukanlah sebuah mitos sosial, melainkan realita yang hegemonik. Harry J Benda dalam karyanya Continuity and Change in Southeast Asia (1972) pernah membedakan posisi intelektual didalam masyarakat yang sudah maju dan yang masih berkembang. Menurutnya dalam masyarakat Barat, kaum intelektual tidak membentuk kelas sosial tersendiri. Mereka hidup hanya sebatas pelengkap diantara kelas-kelas lainnya. Sedangkan di masyarakat berkembang, kaum intelektual memperoleh kedudukan dan pengaruh. Mereka membentuk kelas sosial tersendiri dan memegang kekuasaan politik. Menjadi intelektual dalam masyarakat berkembang, berarti melakukan suatu pekerjaan mulia, memenuhi panggilan hidup dengan nilai dan aturan, disiplin serta kode etiknya tersendiri. Meskipun tesis itu dikemukakan Harry J Benda dalam konteks munculnya kaum intelektual di Asia Tenggara pada masa kolonial. Namun untuk membedakan peranan kaum intelektual di masyarakat maju dan berkembang, perlu ada semacam tinjauan ulang, karena pada intinya peranan kaum intelektual hampir tidak ada bedanya baik itu di masyarakat maju atau masyarakat berkembang. Ia tetap menjadi agen perubahan. Justru kemajuan dan budaya tinggi masyarakat Barat pada masa kini, semula karena disemangati dan digagas oleh peranan kaum intelektual, yang bangunannya dapat dirujuk mulai dari jaman Yunani Kuna, masa pertengahan dan masa pencerahan.

Bung Hatta, Bung Sjahrir
Selain itu, secara sosiologis pun kaum intelektual tidak bisa disejajarkan dengan kelas sosial lainnya. Ia tetap menentukan kebijakan strategis, mengarahkan gagasan dan pemikiran. Bahkan dalam konteks negara-bangsa modern, peranan mereka tetap sangat hegemonik. Justru yang harus dipertanyakan adalah, ada semangat, niatan dan obsesi yang dimiliki kaum intelektual.
Tak semua kaum intelektual mengabdikan diri sebagai agen perubahan, yang mendedikasikan kemampuan dan kapabilitasnya demi untuk pengabdian sosial. Di sisi lain, bahkan banyak kaum intelektual yang hanya mementingkan individu serta berkorporasi dengan kekuasaan. Kemajuan atau kemunduran, merdeka atau terbelenggu, dan baik atau rusaknya sebuah negara-bangsa, ditentukan oleh semangat, obsesi serta niatan kaum intelektual. Nampaknya kemudian, harus ada integrasi dan tidak ada kesenjangan antara intelektualisme di satu sisi, dan etika-moral serta idealisme di sisi lainnya. Seharusnya keduanya harus berjalan berkelindan. Pada masa perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia, begitu banyak kaum intelektual namun hanya sedikit yang mengabdikan diri untuk perjuangan. Umumnya, kaum intelektual pada masa kolonial hanya untuk mengabdi kepada kekuasaan, menjadi pejabat, gubernur, bupati, hingga kepala media massa untuk kepentingan kekuasaan kolonial. Mereka menjadi priyayi-priyayi baru dan mengisi kelas-kelas sosial menengah baru. Sedangkan tujuan mengabdikan diri untuk perjuangan kemerdekaan, mereka cenderung menutup mata. Di situ, proses langgengnya kolonialisme juga ditentukan secara intensif oleh kaum intelektual yang sudah berkorporasi dengan kekuasaan kolonial. Untungnya ketika itu masih ada orang seperti Bung Hatta, Sjahrir, dan sekelasnya, yang tidak menutup mata atas penderitaan dan belenggu yang dialami bangsa Indonesia. Kaum intelektual seperti Sjahrir dan Hatta merupakan intelektual milik publik, yang dedikasi pengetahuan, kapabilitas dan perjuangannya ditujukan bagi terciptanya kemerdekaan Indonesia. Mereka lebih memilih untuk menjadi intelektual “yang bermasalah” daripada menjadi intelektual yang hidup damai, tenang dan berkecukupan namun di atas penderitaan orang lain. Kaum intelektual seperti Sjahrir dan Hatta, lebih senang hidup di penjara, dibuang dan diasingkan, oleh karena perjuangannya yang tidak disukai kekuasaan kolonial.

Kader
Dari dua tipologi kaum intelektual, antara yang pro terhadap kepentingan nasional dan yang pro terhadap kekuasaan kolonial, sesungguhnya mereka sama-sama berangkat dari masyarakat kelas menengah dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Jika menggunakan struktur sosial masyarakat Jawa ala Geertz, kedua tipologi kaum intelektual itu sama-sama lahir dari kelompok masyarakat priyayi. Mereka mendapatkan pendidikan Barat yang semula sengaja diciptakan Belanda lewat politik etisnya (Ethische Politiek, mulai tahun 1900). Pendidikan Barat yang diberikan pemerintah Hindia-Belanda kepada generasi priyayi itu semula untuk menciptakan kader yang akan mengisi kekosongan jabatan-jabatan menengah. Banyak dari kader terdidik itu mengabdi pemerintahan kolonial, namun ada sedikit generasi priyayi itu yang membelot dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. (J.D. Legge, Intellectuals and Nationalism in Indonesia, 1993) Spirit dari kaum intelektual yang pro terhadap kepentingan nasional itu semestinya memberi impresi pada generasi kaum intelektual zaman sekarang. Sekarang ini banyak kaum intelektual di Indonesia yang justru menghianati kode etiknya, yang berbuat kontraproduktif dengan kenyataan masyarakat Indonesia yang masih mengalami kemiskinan, kebodohan, dan penderitaan. Begitu banyak kaum intelektual yang kini hanya memikirkan kepentingan ekonomi individu, mementingkan kepentingan politik kelompok semata dan sebagainya. Kini, kaum intelektual tak hanya lahir dari kelompok priyayi, namun banyak yang lahir dari masyarakat biasa. R William Liddle (1997) mengistilahkannya sebagai “kaum menengah baru” yang termobilisasikan karena peranan intelektualitasnya dalam kehidupan modern dan arus globalisasi. Masyarakat juga banyak yang mengharapkan apakah kaum intelektual semacam itu akan memperjuangkan aspirasi masyarakat kecil, karena bagaimanapun intelektual jenis itu pernah lahir dan tumbuh dalam masyarakat kecil. Atau justru karena euforianya dalam menikmati kelas masyarakat menengah baru, lantas melupakan masa lalunya, dan bahkan menjadi penindas baru bagi masyarakat karena berselingkuh dengan kekuasaan. Di masa kini, Indonesia membutuhkan kaum intelektual seperti Hatta, Sjahrir, Bung Karno, Tan Malaka, HOS Cokroaminoto, dan sekelasnya. Intelektual yang tak hanya mementingkan diri sendiri, yang tidak mengebiri masyarakatnya sendiri. Intelektual yang visioner sekaligus revolusioner. Intelektual yang tidak memecahbelah masyarakat seperti keping-keping reruntuhan, tapi mengintegrasikan masyarakat dalam kesatuan. Intelektual yang berkemauan untuk bersama-sama membangun Indonesia dari keterpurukan.

Penulis adalah peminat historiografi Indonesia modern.

Indonesia Belum Negara Maritim

Indonesia Belum Negara Maritim
Oleh
Muhamad Karim

Diskusi di Sinar Harapan beberapa waktu lalu mengemuka pernyataan Prof Dr Hasyim Djalal bahwa Indonesia belum menjadi negara maritim, melainkan masih dalam proses menuju ke sana. Mengapa pernyataan itu mengemuka? Jawabnya, sederhana saja. Indonesia belum mampu memanfaatkan dan mengelola sumber daya kelautan, yakni sumber daya alam (ikan, tambang), transportasi, pariwisata bahari, industri bioteknologi dan jasa kelautan. Dus, mengapa kita sekarang sudah berupaya menggerakkan ekonomi kelautan, tapi justru jalan di tempat? Apakah ada yang keliru dengan kebijakan pembangunan ekonomi kelautan kita? Jawabnya adalah bagaimana menganalisisnya dalam kacamata antropologis, historis dan sosiologis.
Secara antropologis, ekonomi kelautan Indonesia berakar pada kebudayaan masyarakat Indonesia yang sejak dahulu sebagai bangsa pelaut. Berbagai literatur dan hasil kajian antropologis membuktikan bahwa manusia Indonesia sudah menjelajahi perairan Nusantara sampai ke Madagaskar di Afrika pada abad ke-7, masa kolonialisme abad 17-19 sampai menjelang Indonesia merdeka (baca: Antony Reid). Penggalian situs Delta Sungai Batanghari di Jambi membuktikan bahwa masyarakat pesisir di wilayah itu sudah menggerakkan aktivitas ekonomi pesisirnya dengan temuan alat tangkap ikan jenis bubu. Bahkan, di pelbagai pesisir pantai di Jawa dan Sumatera ditemukan situs perahu kuno, dan kerajaan maritim Sriwijaya di Sumatera Selatan dan Kerajaan Banten.
Sebuah hasil riset juga membuktikan aktivitas bisnis teripang sudah berlangsung sejak abad 14 yang dilakukan orang-orang Sulawesi Selatan. Bahkan, mereka menangkap teripang sampai ke Australia dan seluruh perairan Nusantara. Salah satu situs lukisan Gua di Pulau Muna Sulawesi Tenggara menggambarkan manusia melakukan aktivitas menangkap ikan dengan menggunakan perahu. Maknanya secara antropologi, manusia Indonesia memiliki ikatan yang kuat dengan sumber daya kelautan untuk mempertahankan kehidupannya.

“Dual Economic”
Secara historis-sosiologis membuktikan, perdagangan dan pelayaran yang berlangsung di Nusantara pada abad 15-19 menjadi penggerak utama perekonomian kerajaan-kerajaan Nusantara. Bangsa-bangsa Eropa berupaya keras mencapai Nusantara demi menguasai perdagangan rempah-rempah yang dihasilkan pulau-pulau kecil di Maluku. Tidak berbeda dengan pulau lain di Nusantara. Produk unggulan lokal diperdagangkan secara global dengan basis kekuatannya ekonomi kelautan. Komoditas dari pantai barat dan pantai timur Sumatera adalah kapur barus, lada, kopi, dan karet. Dari Kalimantan diperdagangkan kayu dan hasil hutan lainnya. Komoditas Sulawesi berupa kayu hitam, kelapa, kapas dan ikan. Dari Nusa Tenggara kayu cendana. Pilar ekonomi kelautan adalah komoditas unggulan lokal, perdagangan antarpulau, internasional serta kepelabuhan dengan basisnya kota pantai. Mencermati dinamika ekonomi Nusantara masa itu, sejatinya adalah sebuah model Dual Economic. Di level makro, komoditas perdagangan internasionalnya bersumber pada pertanian dan tanaman perkebunan di satu sisi. Tapi, di sisi lain sektor jasanya transportasi laut. Pada level mikro aktivitas subsistem masyarakatnya berbasiskan pertanian tanaman pangan dan perikanan. Buktinya, masyarakat pulau-pulau kecil di Maluku pada masa lalu selain berprofesi sebagai petani pala dan cengkih, juga beraktivitas menangkap ikan dengan komoditas andalannya adalah teripang, jenis ikan pelagis segar maupun yang diolah (ikan kayu). Ini sudah membudaya dalam komunitas masyarakat pesisir di Indonesia baik yang bermukim di pulau-pulau kecil maupun pesisir. Tengoklah masyarakat Kepulauan Raja Ampat, selain berprofesi sebagai nelayan juga sebagai petani sagu maupun peramu yang diperoleh dari hutan. Makanya, di daerah ini ada tanah adat dan hutan adat. Tapi, ada juga wilayah laut yang dimiliki secara adat dengan model pengelolaan berbasiskan kearifan tradisional. Sayangnya, sekarang pemerintah justru akan memprivatisasi wilayah laut dengan konsep Hak Pengelolaan Perairan Pesisir (HP3) yang amat a-historis. Tidak pernah ada, dalam pengelolaan perairan laut di Nusantara, termasuk di masa kolonial pun, penguasaan laut Nusantara oleh pihak pemilik modal apalagi boleh dialihkan (transferability) dan diperjualbelikan. Sesuatu tanpa akar sejarah adalah “kesesatan”, dan melembagakannya bisa mengundang konflik.

Mengembalikan ”Khitah”
Secara sosio-antropologis, menggambarkan dinamika interaksi antara masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir lebih progresif dibandingkan pedalaman. Dinamika oseanografi perairan laut (gelombang laut, arus, upwilling, dan angin) cenderung mempengaruhi perilaku dan sistem nilai dalam konstelasi budaya politik masyarakat Indonesia. Perilaku yang tegas, jujur, berani, egaliter, terbuka dan menerima pluralisme lebih dominan berkembang dalam masyarakat pesisir. Mereka memosisikan dinamika oseanografi sebagai bentuk tantangan yang membutuhkan keberanian, kejujuran, dan kerja sama antara sesama komunitas. Masyarakat pesisir memiliki interaksi yang tinggi - melalui pelayaran dan perdagangan - dengan komunitas internasional yang beragam entitas budaya, etnik, agama, dan ras. Akibatnya, mereka lebih berpandangan pluralistik ketimbang masyarakat pedalaman. Sebagai masyarakat pelaut, nelayan, dan pedagang, masyarakat pesisir dalam berlayar, berdagang dan menangkap ikan mengutamakan sikap dan budaya keterbukaan, kerja sama, dan egalitarian. Berkembangnya sikap dan budaya ini karena selalu berhadapan dengan bahaya sewaktu-waktu yang bersumber dari alam maupun manusia (bajak laut). Perilaku yang berkembang dalam masyarakat pesisir mirip sistem nilai masyarakat demokrasi dalam negara modern. Dekonstruksi antropologis, historis dan sosiologis tersebut di atas menggambarkan betapa pentingnya ekonomi kelautan yang dibangun secara dual economic. Pola ini tak hanya mempengaruhi dinamika ekonomi masyarakat, tapi juga kebudayaan dan sistem nilainya yang berkembang bahkan sampai kini. Sayangnya, ketika Indonesia merdeka dan di era Orde Baru sampai reformasi kini, pola dual economic yang menopang ekonomi kelautan justru tergerus dari akarnya. Padahal, ia sudah menjadi bagian kebudayaan, dan sistem ekonomi (way of life) yang berkembang secara turun-temurun di bumi Nusantara ini. Diperlukan rekonstruksi bangunan puing-puing dual economic berbasis kelautan sebagai alternatif membangun kekuatan ekonomi bangsa demi mewujudkan ”negara maritim”. Upaya ini membutuhkan dukungan politik yang kuat secara institusional dan struktural. Rekonstruksi ini sekaligus memetakan kekuatan dual economic Indonesia secara geografi dan geo-ekonomi dari wilayah barat sampai timur. Sudah pasti pula mengintegrasikan kekuatan ekonomi terestrial dalam bentuk basis komoditas perdagangan. Inilah kekuatan baru yang secara progresif mengembalikan ”khitah” Indonesia sebagai negara maritim.

Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Rabu, 25 Februari 2009

Pulau Sebatik, Separuh Indonesia Separuh Malaysia

Pulau Sebatik, Separuh Indonesia Separuh Malaysia

Saya bersyukur kepada Allah mendapat kesempatan mengunjungi Pulau Sebatik. Pulau ini termasuk gugusan pulau-pulau kecil terluar (PPKT) Indonesia. Letaknya di Kabupaten Nunukan, Propinsi Kalimantan Timur. Kunjungan ke Pulau Sebatik dilakukan dalam rangka kajian PPKT berupa inventarisasi faktor bio-fisik dan sosial-ekonomi berdasarkan standar UNCLOS.

Pulau Sebatik ini unik, sebab separuh kawasannya masuk ke wilayah Indonesia dan separuhnya lagi masuk wilayah Malaysia. Pada satu laporan yang saya baca bahkan dituliskan ada rumah yang beranda depannya masuk Indonesia dan dapurnya masuk Malaysia! Batas wilayah antar negara ini memotong pulau dengan garis kurang lebih sejajar khatulistiwa (silakan Googling kata "pulau sebatik"). Pulau ini bentuknya membujur dari arah Barat ke Timur sepanjang kurang lebih 30 km. Sebagian besar potongan bagian Selatan menjadi bagian dari negara RI.

Akses dan Kondisi Perekonomian

Saya bersama dua peneliti lain dari Balai Penelitian Geomatika, Bakosurtanal, pada hari Jum'at, 27 Juli 2007, sudah berangkat dari Hotel di kota Nunukan pagi hari. Tujuannya adalah Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan. Dari sana kami berencana menyeberang ke Pulau Sebatik dengan perahu kecil. Selat Sebatik yang memisahkan Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik lebarnya sekitar 3-4 kilometer saja.

Cuaca hujan membuat kami masti menunggu cukup lama di Pelabuhan. Saya sempat mengabadikan beberapa foto di sana. Beberapa informasi juga saya dapatkan. Pelabuhan yang amat ramai pagi itu ternyata dipenuhi para penumpang yang hendak pergi ke kota Tawao, Malaysia. Orang-orang ber-KTP Nunukan dan sekitarnya bisa mendapatkan perijinan memasuki Malaysia lewat Tawao dengan prosedur yang relatif mudah dibandingkan orang Indonesia lainnya seperti kami dari Pulau Jawa.

Kota Tawao yang berada di seberang Pulau Sebatik menjadi pusat perekonomian kawasan ini. Barang dagangan seperti susu, kue-kue, gula-gula di kota-kota Kabupaten Nunukan berasal dari Malaysia dan masuk lewat Tawao. Bahkan pada kota-kota di kabupaten yang letaknya di sebelah Selatan Nunukan seperti Tarakan (Kabupaten Bulungan) dan Tanjung Redep (Kabupaten Berau) barang-barang dagangan juga didominasi yang masuk lewat Tawao.

Karena perahu sulit didapatkan di Pelabuhan Tunon Taka, maka kami bertiga pergi ke Dermaga Yamaker. Dari arah daratan kami memasuki pasar yang didirikan di atas papan-papan pada pesisir pantai. Di ujung pasar terletak dermaga kecil Yamaker. Terlihat kantor kecil Dinas Perhubungan dan Pos Polisi di sana. Di hadapan dermaga nampak belahan Pulau Sebatik yang masuk wilayah Malaysia. Tak heran kalau di Dermaga Yamaker berkibar bendera Merah-Putih. Juga kami saksikan beberapa perahu kecil lalu lalang dengan mengibarkan bendera Merah-Putih.

Kami membawa lembar peta kerja. Di sana kami sempat bertukar informasi dengan masyarakat dan juga aparat keamanan. Mereka, masyarakat terutama, amat antusias melihat peta yang kami bawa. Mereka dengan lancar bisa menjelaskan nama-nama kawasan yang ada dalam peta. Sepertinya mereka baru pertama kali melihat peta kawasan mereka sendiri.

Pada Pos Polisi ternyata tidak ada peta kawasan sekitar Dermaga Yamaker. Agak sedih juga saya mengetahui ini. Semestinya mereka yang bertugas di kawasan perbatasan dilengkapi dengan peta-peta yang memadai. Biarlah ini jadi catatan yang saya bawa saat pulang ke kantor. Pada kesempatan obrolan dengan seorang polisi pelopor (Brimob) yang saat itu didatangkan dari Balikpapan untuk tugas khusus, saya terkejut ketika sang polisi bertanya, "Memang di Pulau sana ada wilayah Indonesia, Pak?". Yang ia maksud adalah di Pulau Sebatik. Saya jawab, "Iya, Pak ... Saya akan tunjukkan di peta yang saya bawa."

Tahulah saya betapa kami, sebagai wakil pemerintahan negara ini, masih harus kerja keras menyebarkan informasi spasial berupa peta ke daerah-daerah. Hal ini memang sudah saya catat benar. Bahkan ketika kami berkunjung ke kantor Bappeda di salah satu kabupaten di Kalimantan Timur, kami sudah dikejutkan dengan tidak pernahnya mereka membaca langsung peta produksi Bakosurtanal. Mereka hanya memperoleh peta turunan yang dibuat oleh kontraktor pada salah satu pekerjaan penataan ruang.

Akhirnya kami menaiki sebuah perahu kecil menuju Pulau Sebatik. Sekitar 25 menit kami seberangi Selat Sebatik. Ongkos yang harus dibayar Rp. 15.000 per orang.

Di Pulau Sebatik kami turun di perkampungan kecil bernama Bambangan. Karena sudah lewat tengah hari, kami langsung ke warung terdekat dermaga Bambangan untuk makan siang dan sholat di masjid at-Taqwa, yang juga terletak di sekitar lokasi dermaga.

Tadinya kami berencana melakukan survei lahan dan tutupannya lewat jalan darat. Tetapi cuaca hujan rupanya membuat jalan darat ini sulit ditempuh kendaraan. Akhirnya kami putuskan untuk melakukan survei di kawasan pesisir Selat Sebatik dengan perahu. Sesekali kami merapat ke dermaga-dermaga yang ada di pesisir pantai itu lalu masuk ke perkampungan untuk mengukur posisi dengan alat GPS dan mengambil foto serta sampel tanah.

Beberapa Catatan Sosial

Sayangnya kami bertiga belum dapat melakukan survei lebih mendalam tentang kondisi sosial-masyarakat Pulau Sebatik. Ada seorang dari peneliti kami yang akan beberapa hari lagi meneliti pulau ini.

Dari kunjungan sepintas ke Pulau Sebatik, saya bisa menyampaikan catatan singkat sebagai berikut. Infrastruktur pulau ini masih memprihatinkan. Beberapa ruas jalan masih berupa tanah, yang amat rentan dengan cuaca hujan. Sementara itu memasuki arah Timur (batasnya sekitar Mantikas), jalan sudah diperkeras dengan batu-batuan yang dilembutkan. Hanya bagian Timur di dekat Tanjung Karang dan Sungai Nyamuk yang menurut yang saya dengar jalannya sudah diaspal.

Masyarakat di sana hidup dengan kondisi sederhana. Mereka hidup dari bertani, berkebun, bertambak ikan atau bisnis perahu. Nampaknya sebagian kaum lelaki pergi jauh dari rumah untuk mencari penghidupan dengan berdagang atau menjadi pekerja pelabuhan, perkebunan dan lain-lain.

Saya mencatat betapa kawasan Sebatik ini masih memerlukan perhatian serius dari pemerintah Kabupaten Nunukan, pemerintah Propinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah Pusat untuk lebih diberdayakan lagi sektor perekonomiannya. Yang juga penting diperhatikan adalah agar anak-anak Sebatik memperoleh kesempatan belajar dengan sebaik-baiknya.

Catatan ini akan saya lanjutkan lagi, insya Allah. Saya pun akan menyampaikan beberapa foto yang sempat diambil saat survei.

Bogor, 31 Juli 2007,
Adi Junjunan Mustafa
(Tim Survei Lapangan, Balai Penelitian Geomatika, Bakosurtanal)

Sabtu, 21 Februari 2009

Sebatik, Pulau Terdepan Paling Unik dan Terumit

Sebatik, Pulau Terdepan Paling Unik dan Terumit

Oleh
Aju

Nunukan Zoners Team - Pulau Sebatik merupakan salah satu dari 92 pulau terdepan Indonesia di sebelah timur laut Kalimantan. Letak geografisnya paling unik dan terumit dari sisi potensi konflik batas dengan negara lain. Pada bagian utara adalah Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia, sedangkan di selatan wilayah Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Di sebelah barat Pulau Sebatik terdapat Pulau Nunukan, sebagai ibu kota Kabupaten Nunukan, sedangkan di seberang utara terdapat Kota Tawau, yang sudah berada di Negara Bagian Sabah. Luas Pulau Sebatik wilayah Indonesia, ada 414,16 km2 dan jumlah penduduk 13.776 jiwa. Paling unik, karena satu titik patok tapal batas negara di Pulau Sebatik, membelah Desa Aji Kuning menjadi milik Indonesia dan Malaysia. Ini merupakan bagian dari 18 patok batas di Pulau Sebatik, dan bagian tak terpisahkan dari 19.328 patok darat Indonesia-Malaysia di Kalimantan. Akselerasi masyarakat antarkedua negara cukup baik. Sebagian besar kebutuhan akan sembilan bahan pokok warga Indonesia yang berpofesi sebagai petani dan nelayan, sepenuhnya dipasok dari Tawau. Banyak sekali rumah warga kedua negara posisinya berada persis di atas patok batas.

Tidak Akurat
Paling rumit, karena perkembangan ilmu dan teknologi, pada tahun 1982-1983 Tim General Boder Committee (GBC) Indonesia-Malaysia, menemukan ketidakakuratan titik koordinat pada pemasangan patok batas di Desa Aji Kuning. Deviasinya 4 derajat pada patok yang ditanam, sehingga wilayah Indonesia di Pulau Sebatik dicaplok Malaysia seluas 103 hektare. Tanggal 26 September 1996, terjadi insiden penembakan oleh polisi hutan Malaysia terhadap anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) yang tengah melakukan patroli di Pulau Sebatik. Malaysia sempat mengancam akan membangun pagar memanjang di sepanjang perbatasan Pulau Sebatik, ketika muncul saling klaim terhadap kepemilikan Blok Ambalat di Perairan Laut Sulawesi tahun 2005 dan 2008. ”Ketidakakuratan pemasangan patok batas pada titik koordinat yang sesungguhnya di Desa Aji Kuning merupakan bagian dari 10 masalah patok tapal batas darat Indonesia-Malaysia yang belum disepakati di Kalimantan. Negosiasi jalan terus,” ujar Pangdam VI/Tanjungpura Mayjen TNI Tono Suratman.
Indonesia-Malaysia memang telah menetapkan bersama kedua patok di pantai barat dan pantai timur. Namun, pilar yang terletak di pantai barat Pulau Sebatik tidak ditemukan lagi sehingga tidak dapat dilakukan rekonstruksi beberapa posisi sebenarnya. Malaysia telah menunjukkan dokumen yang tidak asli yang memuat hasil-hasil ukuran patok-patok antara kedua pilar tersebut, yang katanya dibuat oleh Belanda-Inggris, namun patok-patok dimaksud cenderung menyimpang ke selatan. Gubernur Kaltim Awang Faruk mengatakan, secara bertahap pemerintah daerah dan departemen terkait di Jakarta terus menjabarkan program pembangunan berkelanjutan di wilayah pulau terdepan ini . Pulau Sebatik bagian dari empat pulau terdepan di Provinsi Kaltim. Dia mengatakan, permasalahan patok batas merupakan salah satu permasalahan serius yang mesti segera diselesaikan dengan Federasi Malaysia. Di samping persoalan di Pulau Sebatik, patok batas yang belum di-sepakati di Provinsi Kaltim adalah di Sungai Sinapad dan Sungai Simantipal. Dari 10 permasalahan patok batas yang belum disepakati, di garis batas Kalbar-Sarawak, terdapat lima problem, yakni segmen Tanjung Datu, Gunung Raya, Batu Aum, Sungai Buan, dan segmen D.400. Kaltim-Sabah, di Pulau Sebatik, Sungai Sinapad, Sungai Semantipal, Pulau Sebatik, segmen Daerah Prioritas 2700, dan segmen Daerah Prioritas C.500. Di Sungai Sinapad yang sering disebut masalah, Sungai Sedalir merupakan masalah yang diangkat oleh Federasi Malaysia atas pengertian hasil-hasil ukuran bersama (Belanda-Inggris) yang dituangkan dalam persetujuan 1915. Menurut Malaysia, karena Sungai Sinapad adalah sounthem tributary daripada Sungai Sedalir yang bermuara di atas 4 derajat 20 menit (hanya 34 menit saja), maka watershed yang tergambar pada peta lampiran persetujuan 1915 ditolak kebenarannya, dan menginginkan watershed yang berada di sebelah timur Sungai Sinapad, sehingga mengambil alih wilayah Indonesia 4.800 hektare. Padahal, dari meridian 117 derajat sampai Sungai Sedalir, menurut lampiran persetujuan 1915 terhadap sekitar sungai yang berasal dari sebelah atas (utara) lintang 4 derajat 20 menit. Malaysia mengabaikan pengertian small portions, bahwa watershed adalah primo loco daripada lintang 4 derajat 20 menit dan persetujuan adalah mengikat (obligator). Masalah Sungai Simantipal, karena Malaysia telah menemukan kasus di mana Sungai Sinapad ternyata bermuara di utara lintang 4 derajat 20 menit. Malaysia berusaha mencari di tempat lain, apakah ada kasus serupa. Akhirnya Malaysia menduga bahwa Sungai Simantipal pun yang sudah diatur di dalam persetujuan 1915, bermuara di sebelah utara lintang 4 derajat 30 menit. Apabila memang benar dugaan Malaysia, bahwa Sungai Simantipal bermuara di Sungai Sedalir di utara lintang 4 derajat 20 menit, maka di sini belum diketahui ke mana pihak Malaysia akan memilih watershed yang cocok. Ini karena di kawasan tersebut tidak ada watershed lain, kecuali yang telah disepakati Belanda-Inggris, seperti tercantum dalam persetujuan maupun peta lampirannya. n