Jumat, 20 Maret 2009

23 Nelayan Vietnam Ditangkap

23 Nelayan Vietnam Ditangkap

Nunukan Zoners Team Pontianak — Kapal Pengawas Hiu 03 milik Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menangkap satu kapal nelayan Vietnam yang mencuri ikan di perairan Indonesia, tepatnya di Zona Ekonomi Eksklusif di Laut China Selatan, Sabtu (14/3). Akan tetapi, 18 kapal asing lainnya yang pada saat bersamaan diduga kuat juga mencuri ikan di wilayah itu lolos dari penangkapan. "Pengejaran kapal nelayan asing itu sempat terkendala ombak besar setinggi 3-5 meter sehingga hanya ada satu kapal yang berhasil ditangkap," kata Kepala Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pontianak Bambang Nugroho, Rabu (18/3). Kapal nelayan Vietnam berbobot 30 grosston yang ditangkap tersebut memiliki nomor lambung TG 91701 TS, dinakhodai Doan Hai Van (42). Kapal nelayan yang menggunakan alat tangkap purse seine atau pukat cincin itu diawaki 22 anak buah kapal.

Kapal bersama semua nelayan Vietnam yang ditangkap itu dibawa ke Pontianak untuk menjalani proses hukum lebih lanjut. Kapal tersebut tiba di Pontianak dengan kawalan KP Hiu 03, Selasa kemarin. Menurut Bambang, nelayan-nelayan Vietnam itu diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang No 31/2004 tentang perikanan karena melakukan penangkapan ikan di wilayah Indonesia tanpa memiliki surat izin usaha perikanan (SIUP) maupun surat izin penangkapan ikan (SIPI). Proses hukum hanya dilakukan kepada nakhoda dan kepala kamar mesin, sedangkan 21 ABK lainnya akan dideportasi.

Saat ditangkap, tidak ada ikan hasil tangkapan di kapal nelayan Vietnam. Hanya ada sejumlah ikan yang masih tersangkut di alat tangkap yang mereka gunakan. Menurut Bambang, kapal Vietnam yang ditangkap tersebut kemungkinan besar baru saja bongkar muat di tengah laut. Penangkapan ikan oleh nelayan asing biasanya dilakukan secara berkelompok dan didukung satu kapal induk. "Setelah melakukan penangkapan, ikan yang mereka tangkap dipindah ke kapal induk yang juga berada di tengah laut," katanya. Kapal nelayan yang tertangkap itu memiliki daya angkut 20 ton ikan. Jika harga ikan rata-rata berkisar Rp 10.000 tiap kilogram, maka kerugian yang diderita Indonesia akibat pencurian ikan oleh kapal itu dalam sekali angkut mencapai Rp 200 juta.

Wilayah perairan Indonesia di Laut China Selatan, khususnya di daerah lintang enam, menurut Bambang, memiliki potensi tangkapan ikan yang cukup besar. Wilayah itu berbatasan dengan wilayah perairan sejumlah negara lain, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam, sehingga cukup rentan terjadi pencurian ikan. Oleh karena itu, DKP terus mengintensifkan patroli kapal pengawas di wilayah itu untuk menekan pencurian ikan yang dilakukan kapal-kapal nelayan asing. WHY

Masih Banyak Algaka Belum Ditertibkan

Masih Banyak Algaka Belum Ditertibkan

Nunukan Zoners Team : Ketua Panwaslu Nunukan Abdul Kadir mengaku prihatin bila melihat ada balita yang dibawa orang tuanya untuk mengikuti kampanye partai tertentu. Ia juga mengatakan, pihaknya susah menindak hal-hal yang diduga sebagai eksploitasi anak dalam kampanye di Nunukan. ”Agak susah juga menindaknya. Karena alasan yang kami terima, jika orang tua ikut kampanye, maka anaknya tidak ada yang menjaga dirumah. Akhirnya anaknya dibawa ikut kampanye,” ungkapnya. Kendati demikian, hingga saat ini pihaknya masih memaklumi dan memberi toleransi dengan alasan itu. ”Kalau anaknya diberi alat peraga kampanye (algaka) seperti memakaikan baju parpol, itu pelanggaran. Sementara ini kami memberi pengarahan saja kepada orang tua untuk hati-hati membawa anaknya kampanye,” terangnya. Sebelum parpol melakukan kampanye pun, Panwaslu mengadakan sosialisasi dan pendekatan untuk meminimalisasi pelanggaran dalam kampanye oleh parpol. ”Tapi sampai sekarang, belum ada pelanggaran yang dilakukan parpol dalam kampanye terbuka,” jelasnya. Jika Panwaslu belum menemukan pelanggaran dalam kampanye terbuka, tidak sama halnya dalam kampanye tertutup atau kampanye lainnya. ”Hampir semua parpol melanggar. Karena banyak algaka parpol yang dipasang dan ditempatkan di tempat yang dilarang,” tegasnya. Menyikapi hal ini, Panwaslu telah menyurati parpol, KPU dan Satpol PP sebagai eksekutor. Tapi sampai sekarang, masih ada sebagian algaka yang belum ditertibkan. ”Bisa dilihat di kawasan Bandara Nunukan, masih banyak ditempati algaka parpol. Tugas KPU dan Satpol PP untuk menindaklanjuti dan menertibkan masih ngambang,” tukasnya yang kemudian mengaku, pelanggaran parpol sebelum kampanye terbuka juga telah diserahkan ke KPU. Panwaslu, katanya, hanya bertindak sebagai fasilitator dan mediator dalam pelanggaran administrasi, jadi sudah sepantasnya Satpol PP mengambil tindakan penertiban algaka yang melanggar aturan. ”Padahal penertiban ini ’kan sudah ada Perdanya dan ada titik-titik tempat pemasangan algaka yang dilarang,” ujarnya. (dew)

Jumat, 13 Maret 2009

Kasal Tegaskan Batas Wilayah di Ambalat Belum Selesai

Kasal Tegaskan Batas Wilayah di Ambalat Belum Selesai

Nunukan Zoners Ambalat : Kasal Laksamana TNI Tedjo Edhy Purdijatno mengemukakan bahwa hingga kini antara Indonesia dengan Malaysia belum selesai menentukan batas wilayah laut, khususnya di Perairan Ambalat. "Malaysia dengan kita memang beda paham soal batas wilayah itu," katanya, seusai pelantikan perwira lulusan Pendidikan Pembentukan Perwira di Komando Pengembangan dan Pendidikan TNI AL (Kobangdikal), Surabaya, Senin. Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso dalam dengar pendapat dengan DPR, Selasa (21/10), mengungkapkan pasukan Malaysia masih kerap melakukan pelanggaran wilayah di kawasan Blok Ambalat. Menurut Kasal, kalau Indonesia menganggap bahwa kapal Malaysia melakukan pelanggaran batas wilayah, Malaysia juga menganggap kapal Indonesia demikian. Karena itu memang harus ditentukan batas wilayah. Kasal mengemukakan bahwa dua pekan lalu, masalah itu telah ditindaklanjuti dengan rapat di Kementerian Polhukam yang diikuti Menko Polhukam, Menlu, Panglima TNI dan para kepala sataf angkatan serta Kapolri. "Dalam rapat itu kita bahas bahwa Malaysia memang masih banyak melakukan pelanggaran di Ambalat, sementara ini kapal-kapal mereka hanya kita usir keluar melalui komunikasi atau kita giring," ujarnya. Ia mengemukakan, sementara ini perkembangan sitasi di wilayah itu sudah dilaporkan secara berjenjang dari Pangarmatim, Kasal, Panglima TNI, Menhan dan kepaa Menlu untuk dibuatkan nota diplomatik ke Malaysia. Mengenai kapal TNI AL yang berpatroli di kawasan itu, Kasal mengemukakan ada lima KRI yang memang selalu siaga. Kapal-kapal itu disiagakan dan setiap beberapa bulan sekali digantikan dengan kapal lainnya. (*) Surabaya (ANTARA News)

Kisah Sedih di Wilayah Perbatasan


*) sebuah kapal ilegal milik pengusaha Malaysia yang tertangkap melakukan pencurian ikan di Perairan Sebatik. Pencurian ikan oleh negara tetangga masih menjadi masalah serius di wilayah ini.

Teks dan Foto : Wiko Rahardjo

Puluhan tahun, banyak kapal-kapal ikan asal Kalimantan Timur (Kaltim) mendaratkan hasil tangkapannya di Malaysia. Negara Indonesia sudah dirugikan miliaran rupiah. Sementara legalisasi pukat hela di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia masih menjadi perdebatan. Rasa miris menghujam ketika saya menginjakan kaki di Sebatik.Jarum jam tepat menunjukan pukul setengah satu siang ketika, Saya beserta rombongan wartawan ibukota lainnya tiba di Pelabuhan Tarakan, Kalimantan Timur (Kaltim). Siang itu, kami atas ajakan Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen P2SDKP), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) akan melakukan perjalanan laut menuju Pulau Sebatik, pertengahan Februari lalu.

Armada yang kami tumpangi adalah Kapal Patroli Hiu Macan 003 yang mempunyai cakupan wilayah operasi di perairan Indonesia bagian timur. Kapal ini meninggalkan pelabuhan dengan kecepatan 14 knot/jam. Beruntung ombak di laut sedang tak begitu tinggi sehingga kapal yang kami tumpangi melaju dengan tenang.

Perjalanan dari Tarakan menuju Sebatik selanjutnya kami tempuh dalam kurun waktu lima jam. Sekitar pukul tujuh malam, kami mendarat di sebuah dermaga kayu yang menjorok ke tengah laut. Kami harus berhati-hati ketika memanjati tangga dermaga tersebut. Suasana begitu gelap dan temaram. Hanya ada penerangan dari beberapa buah lampu bohlam dan pijar yang tak begitu terang.Namun ketika pandangan kami arahkan ke timur, benderang cahaya begitu jelas kami lihat jauh di seberang pulau. Kami bayangkan betapa ramai dan meriahnya kehidupan di sana. Itulah daratan Tawao, Malaysia.

Sebatik adalah sebuah pulau kecil terluar yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Di darat, pulau ini terbagi dua menjadi Sebatik Indonesia dan Sebatik Malaysia. Sementara di laut, pulau ini berhadap-hadapan dengan daratan Tawao. Lebih jauh ke arah timur terletak Pulau Sipadan dan Ligitan yang dulu pernah menjadi sengketa antara Indonesia-Malaysia. Miris karena Mahkamah Internasional akhirnya memutuskan dua pulau ini sebagai bagian kedaulatan negeri jiran tersebut.

“Mereka makmur karena nelayan Indonesia,” ujar H.Yusuf, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Cabang Kabupaten Nunukan, Kaltim yang menyambut kedatangan kami. Cerita yang mengalir selanjutnya adalah tentang keprihatinan dan permasalahan yang selama ini menggelayuti kehidupan nelayan di Sebatik dan wilayah-wilayah di Kaltim lainnya.

“Bayangkan selama puluhan tahun, banyak nelayan kami yang mendaratkan dan menjual ikan tangkapannya ke Malaysia dengan harga murah,” kata Yusuf. Pemerintah Malaysia, lanjut Yusuf, tentunya dengan senang hati menerima kedatangan mereka.

“Jika anda nelayan yang datang dengan membawa ikan maka tak perlu paspor untuk masuk Tawao,” katanya lagi. Alhasil selama puluhan tahun pula Indonesia tak menikmati keuntungan berarti dari pengeksplotasian sumber daya ikan di perairan tersebut.
Wajar jika pada akhirnya, walaupun hanya negara dengan luas wilayah yang kecil,

Malaysia begitu makmur. Pembangunan ekonomi terus menerus dilaksanakan sebagai unjuk kemakmurannya. Sebatik Indonesia pun semakin tenggelam dalam kemiskinannya. Hal ini tentunya tak akan pernah terjadi jika saja Pemerintah Indonesia sudah jauh-jauh hari memperhatikan kehidupan masyarakat di pulau perbatasan tersebut. “Kami tak memiliki cold storage, industri pengolahan, maupun pelabuhan yang memadai untuk menerima ikan-ikan tangkapan nelayan,” kata Suryanto, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Nunukan.

Karena itu, menurutnya, tak bisa disalahkan jika pada akhirnya banyak nelayan di Kaltim yang memasok hasil tangkapannya ke Malaysia. Ironis memang, entah sampai kapan perairan kita menjadi surga bagi pencuri.

Jumat, 06 Maret 2009

Dari Raja Ampat, Jangan Lupa ke Kepulauan Widi

Nunukan Zoners Ternate: Obyek wisata Kepulauan Widi di Kabupaten Halmahera Selatan menjadi andalan bagi pemerintah setempat untuk menarik minat wisatawan domestik dan mancanegara ke daerah itu. Bupati Halmahera Selatan Muhammad Kasuba, Jumat (6/3), di Labuha mengatakan, Pemkab Halsel menjadikan Kepulauan Widi menjadi andalan antara lain karena pantai pasir putihnya yang tak kalah indah dibandingkan Pantai Kuta di Bali. Juga panorama bawah lautnya yang keindahannya setara dengan panorama bawah laut di Raja Ampat, Papua. Bahkan, Kata Bupati Muhammad Kasuba, panorama bawah laut di Kepulauan Widi memiliki lebih indah dibanding taman laut lainnya di Indonesia, terutama terumbu karangnyanya yang secara umum masih dalam kondisi baik. Di Kepulauan Widi juga ada hutan yang masih alami dan dihuni berbagai jenis burung. Untuk memasarkan Kepulauan Widi, pemda setempat telah menjalin kerja sama dengan Pemkab Raja Ampat untuk mengarahkan wisatawan juga ke Kepulauan Widi setelah dari Raja Ampat.

Penerbangan dari Manado

Obyek wisata Kepulauan Widi terletak di perbatasan antara Kabupaten Halmahera Selatan dan Kabupaten Raja Ampat. Untuk mencapai Kepulauan Widi, dari Raja Ampat hanya dibutuhkan waktu sekitar 4 jam menggunakan speed boat. Pemkab Halsel saat ini juga tengah mengupayakan penerbangan langsung dari Manado ke Labuha, Ibu Kota Kabupaten Halsel, sehingga wisatawan yang berkunjung di Manado bisa dengan mudah melanjutkan kunjungan ke Kepulauan Widi. Prasarama menuju Kepulauan Widi juga sdang dibenahi. Akomodasi bagi wisatawan, seperti hotel dan penginapan memang belum ada, tetapi wisatawan bisa menggunakan rumah penduduk. Bisa juga menginap di hotel-hotel di Labuha. Cara termudah saat ini untuk mencapai Kepulauan Widi adalah melalui Ternate. Dari Ternate wisatawan bisa ke Labuha menggunakan kapal laut atau pesawat perintis (dua kali seminggu), selanjutnya ke Kepulauan Widi menggunakan kapal laut melalui Gane Timur.MSH

Sesama Parpol Dilarang Saling Provokasi

Laporan wartawan PERSDA Eko Sutriyanto
Nunukan Zoners Jakarta — Markas Besar (Mabes) Polri meminta selama pelaksanaan kampanye hingga pemilihan presiden para pimpinan partai politik tidak saling memprovokasi sehingga selama proses pelaksanaan pesta demokrasi Pemilu 2009 bisa berlangsung lancar dan aman. "Kita meminta perhatian pimpinan parpol tidak memprovokasi untuk menghindari terjadinya kesinggungan antara parpol yang satu dengan yang lain sehingga pemilu bisa berlangsung lancar," ungkap Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Abubakar Nataprawira di Jakarta, Jumat (6/3). Dia juga meminta agar para parpol mematuhi aturan UU No 10/2008 tentang Pemilu. Mabes Polri bersama dengan pengurus parpol peserta pemilu juga akan menandatangani perjanjian berkomiten melaksanakan pemilu aman dan tertib sehingga Pemilu 2009 bisa berjalan seperti tahun 2004 yang dapat pengakuan dunia bahwa bisa berjalan sukses, aman, tertib, dan damai. "Hari ini juga kita mengadakan pertemuan dengan pimpinan parpol untuk sosialisasi penanganan pelanggaran yang berkaitan dengan UU Pemilu No 10/2008, menyampaikan kesiapan Polri mengamankan pelaksanaan pemilu selama kampanye yang terbuka tanggal 16 Maret sampai 5 April maupun pemungggutan suara presiden/wakil," ungkapnya. Dalam kesempatan itu, Polri juga melakukan sosialisasi kepada pengurus parpol peserta kampanye terkait dengan Peraturan Kapolri No 6/2008 tentang Tata Cara Pemberitahuan Kampanye.

Perlu Waktu 5-10 Menit Conteng Surat Suara


Nunukan Zoners - Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Nunukan berkeyakinan angka suara sah pada pemilu legislatif nanti di atas 70 persen, kendati pesta demokrasi kali ini menggunakan cara baru. Keyakinan KPUD Nunukan tersebut didasari pada hasil simulasi yang mereka lakukan, baik kepada masyarakat dan para pemilih pemula. Hasil simulasi, angka suara sah melebihi 70 persen. Mengacu pada angka-angka tadi, menurut Ketua Divisi Sosialisasi, Teknis Penyelenggara dan Data Pemilih KPUD Nunukan Sari Dewi Bakhtiar, sebenarnya masih dapat ditingkatkan mengingat waktu pelaksanaan pemilu masih tersisa satu bulan lagi. Artinya masih ada waktu untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Pihaknya mengaku, dalam upaya mencapai target yang lebih optimal, berbagai sosialisasi di berbagai tempat telah dilakukan, diantaranya membagikan selebaran sosialisasi ke masyarakat yang berada di pasar-pasar, di jalan raya dengan target para pengendara, ke sekolah-sekolah, bahkan sosialisasi telah dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan (LP). “Saya berharap, sosialisasi kepada masyarakat, tidak hanya dilakukan oleh KPUD Nunukan akan tetapi juga oleh partai politik kepada konstituennya,” harap Sari Dewi. Dengan cara conteng atau centang, menurut Dewi, cukup menemui masalah dalam persoalan waktu. Hasil simulasi khususnya kepada masyarakat yang berusia lanjut, membutuhkan waktu selama 10 menit bahkan ada yang lebih. Padahal idealnya 5 menit saja, untuk empat lembar surat suara yang terdiri kertas suara untuk DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota dan surat suara DPD. Banyaknya partai politik serta caleg yang ada di dalam surat suara merupakan salah faktor yang mempengaruhi lamanya waktu karena ukuran surat suara yang lebih besar dari bilik suara. Terbatasnya waktu pada Pemilu 9 April mendatang, yakni hanya 5 jam (pukul 07.00-12.00), untuk mengantisipasi tidak cukupnya waktu, maka sejumlah TPS kemungkinan akan ditambah bilik suara, misalkan dari 4 bilik menjadi 6 bilik suara. Disebutkan Sari Dewi, salah satu penyebab suara tidak sah adalah masyarakat yang buta huruf, dimana mereka diperkirakan akan mengalami kesulitan untuk mencari yang akan dipilihnya karena tidak bisa membaca. “Bagi yang buta huruf kita juga beri solusi, dengan cara didampingi oleh keluarga dan petugas KPPS pada saat di bilik suara,” jelasnya. (ogy)

Polwan Boleh Berjilbab

JAKARTA - Imbauan Kapolda Jatim Brigjen Pol Anton Bachrul Alam agar polisi wanita (polwan) yang beragama Islam mengenakan jilbab bergaung sampai ibukota. Markas Besar Polri memberi restu dan tidak melarang. “Silakan, tidak ada masalah dan sah,” ujar Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Abubakar Nataprawira di kantornya kemarin (5/3). Imbauan Anton yang pernah menjabat wakil kepala Divisi Humas Mabes Polri itu dianggap sebagai imbauan personal. “Secara khusus tidak ada peraturan yang melarang. Jadi, kalau sebatas imbauan tidak masalah. Bisa ditaati bisa juga tidak,” kata Abubakar. Pemakaian jilbab tidak terbatas untuk pakaian dinas harian, tapi juga pakaian operasional. Untuk seragam dinas harian, jika sebelumnya bagian bawahnya memakai rok pendek di atas lutut, kini para polwan bisa menggantinya dengan rok panjang dipadu atasan panjang dan jilbab cokelat tua. Sedangkan untuk pakaian operasional, roknya bisa diganti celana panjang dengan paduan sama. Menurut Abubakar, Mabes Polri tidak mengeluarkan kebijakan secara spesifik soal jilbab. “Diserahkan pada masing-masing,” kata mantan Kapolres Bogor itu. Imbauan Anton juga disambut baik oleh kalangan DPR RI. Wakil Ketua Komisi III (bidang Hukum dan Kepolisian) Soeripto menilai, jilbab bagi polwan tidak mengganggu kinerja. “Sebaliknya, justru bisa meningkatkan prestasi,” ujarnya. Anggota dewan dari daerah pemilihan Jawa Timur itu menambahkan, dari sisi teknis, jilbab juga banyak manfaat. “Jika bertugas dalam cuaca panas atau cuaca dingin, akan lebih terlindungi,” katanya. Soeripto menilai jilbab bagi polwan bisa diterapkan secara menyeluruh ke seluruh satuan Polda di Indonesia. “Tentu, tidak perlu diwajibkan. Yang jelas, bagi yang non-Muslim tetap dipersilakan dengan seragam yang ada sekarang,” tambahnya. Anggota Komisi Kepolisian Nasional Adnan Pandu Praja juga sependapat. “Di beberapa daerah dengan spesifikasi khusus seperti Aceh akan sangat membantu,” tuturnya. Jilbab juga tidak melanggar undang-undang kepolisian. “Jadi, secara prinsip oke. Bisa diterapkan kapan saja,” ucapnya. Penggunaan jilbab sekarang sudah dimulai di lingkungan sekretaris pribadi Kapolda Jatim dan Polwil Bojonegoro, Jawa Timur.(rdl/jpnn)

Selasa, 03 Maret 2009

Wapres Dukung Perbatasan Kaltim sebagai "Beranda Republik"

Wapres Dukung Perbatasan Kaltim sebagai "Beranda Republik"

Nunukan Zoners Jakarta - Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla menyatakan dukungannya dengan rencana pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yang akan mengubah perbatasan Kalimantan Timur dengan Malaysia yang selama ini dikenal sebagai "halaman belakang" menjadi "halaman depan", yaitu sebagai "Beranda Republik". Dengan akan dijadikan "Beranda Republik", maka kawasan perbatasan Kaltim dan Malaysia sepanjang 1.034 kilometer akan dibangun sedemikian rupa agar sama dengan perbatasan yang kini tengah dibangun oleh Malaysia. Hal itu disampaikan Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek kepada pers, seusai bertemu Wapres Kalla di Istana Wapres, Jakarta, Rabu (4/3) siang. "Wapres Kalla menyatakan dukungannya dengan rencana pembangunan di Kaltim, termasuk di daerah perbatasan," tandas Awang, mengutip Wapres Kalla. Menurut Awang, pemprov akan membangun daerah perbatasan sebagai 'beranda republik' atau daerah yang di depan dan bukan daerah belakang sehingga nantinya bisa bersaing dengan Malaysia. "Kita akan bangun daerah sepanjang 1.034 KM untuk perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) untuk menarik tenaga kerja haram yang kini ada di Malaysia kembali ke Indonesia sehingga mereka tak hanya jadi pekerja, akan tetapi juga pemilik lewat plasma-plasma," ujar Awang. Menurut Awang, "Beranda Republik" akan memanfaatkan kerjasama Indonesia dengan Malaysia yang harus saling menguntungkan di dua belah pihak. "Di situ akan dibuka tujuh pintu masuk perbatasan, yang akan dibenahi dulu sebelum benar-benar dibuka. Kita harapkan, surplus beras di daerah Krayan, yang kualitas berasnya sangat bagus itu benar-benar bisa distribusikan ke daerah lainnya, " tambah Awang. Selama ini, umumnya kondisi di kawasan perbatasan sangat memprihatinkan. Selain kurang mendapatkan perhatian dari pusat dan daerah, kawasan itu menjadi pintu lintasan pencurian kayu dan perdagangan manusia serta narkoba.HAR

Polres Nunukan Bongkar Illegal Logging Cukong Malaysia


Polres Nunukan Bongkar Illegal Logging Cukong Malaysia

Nunukan Zoners - Polres Nunukan berhasil menangkap sedikitnya delapan orang pelaku illegal logging kemarin (3/3). Para pelaku melakukan operasi mereka secara ilegal di daerah Linuang Kayam, Kecamatan Sembakung, Kabupaten Nunukan, dengan cara membangun tempat penggergajian kayu olahan. Kapolres Nunukan AKPB Drs Purwo Cahyoko menjelaskan, barang bukti yang disita berupa 127 batang kayu gelondongan, 104 batang kayu bantalan, dan puluhan kubik kayu olahan. Menurut dia, kegiatan para pelaku terungkap berkat informasi masyarakat. Berdasar informasi tersebut, polisi mendatangi lokasi. Hasilnya, polisi menemukan kapal yang sedang memuat kayu olahan. Dari keterangan anak buah kapal, polisi melacak asal-usul kayu tersebut. Di lokasi, petugas menemukan sawmill yang dioperasikan secara ilegal. "Total, kami mengamankan delapan orang. Lima orang adalah ABK kapal, sedangkan tiga ditangkap di sawmill," terang Kapolres. Informasinya, ada belasan orang yang bekerja di sawmill ilegal itu. Namun, sebagian besar tidak ada di tempat saat penggeberekan berlangsung. (ogy/jpnn/ruk)

Patok Batas di Kapuas Hulu Berubah Tempat

Patok Batas di Kapuas Hulu Berubah Tempat

PONTIANAK, TRIBUN - Panglima Kodam (Pangdam) VI/Tanjungpura, Mayjen Tono (TNI) Suratman mengatakan, di perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di Kecamatan Banua Martinus, Kabupaten Kapuas Hulu, patok-patok batas telah berubah tempat dari posisi semula. Penyebabnya, pembukaan areal perkebunan kelapa sawit oleh pengusaha Malaysia. " Ditemukan perubahan-perubahan patok, bergeser. Tempatnya di Kecamatan Banua Martinus, di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK)," ungkap Mayjen Tono Suratman, Senin (2/3), di Pendopo Gubernur Kalimantan Barat. Pangdam Tono Suratman menambahkan, pihak Malaysia mengatakan tidak ada kerusakan dan hilangnya beberapa patok perbatasan di wilayah Indonesia. Karena, ujar alumnus AKABRI 1975 ini, kawasan tersebut lebih mudah di jangkau di Malaysia. "Mereka (Malaysia) mudah katakan tidak ada kerusakan. Tapi kita lihat ada kerusakan patok patok batas di wilayah Indonesia," jelasnya. Penyebab patok-patok yang rusak dan hilang itu, kata Tono Suratman, adanya pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Banua Martinus. Tanda-tanda itu ada, dengan ditemukannya pembukaan jalan-jalan baru yang bisa dilewati oleh alat-alat berat milik perusahaan kelapa sawit itu. "Jalan yang dibuka (dengan menghilang patok batas negara) sebatas untuk alat-alat berat. Lebarnya sekitar 5-6 meter," katanya di sela-sela serah terima jabatan Ketua Koordinator Forum Kerjasama Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan (FKRP2RK) dari Gubernur Kalimantan Tengah, A Teras Narang ke Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis. Sementara itu, Ketua Staf 1 Divisyen Infanteri Malaysia di Sarawak (setingkat Kodam di Indonesia), Kol Zolkifli Hashim, mengatakan kehilangan patok di perbatasan karena tidak ada yang jaga sama sekali oleh tentara. Namun, ujar Ketua Staf 1 Divisyen ini, patok-patok yang hilang atau rusak tersebut, tidak akan bisa menghilangkan garis batas yang telah disepakati kedua negara. Tidak mungkin, lanjutnya, pihak tentera dan Malaysia memindah-mindahkan patok batas dari kedudukan semula. "Kita dapat informasi tentang itu, TDM dan TNI AD, pergi bersama-sama untuk memperbaikinya. Tidak berlaku saling dipindahkan," tegasnya saat menjawab pertanyaan Tribun di Markas 1 Divisyen Malaysia. Sejumlah wartawan cetak dan elektronik dari Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur diundang oleh divisi tentara yang berpusat di Kuching itu, guna melihat hari ulang tahun Tentera Diraja Malaysia ke-76. "Tidaklah mungkin pula pemerintah membuat batas negara seperti Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dengan Timur. Tidak akan dilakukan," ujarnya. Zulkifli juga membantah adanya polemik antara TNI AD dan TDM tentang garis dan patok batas negara. Jika ditemukan persoalan seperti itu, jelasnya dengan suara agak meninggi, segera diselesaikan saat itu juga. "Tidak dibawa hingga ke Mabes masing-masing, tapi diselesaikan langsung diperbatasan oleh perwira-perwira di sana," ujar perwira menengah keturunan Miangkabau ini. "Sudah jelas sistem dan mekanisme penyelesaiannya. Jangan diapi-apikan masalah ini, sehingga bawa kesan negatif terhadap hubungan kedua negara serumpun ini," pintanya. Namun, untuk patroli bersama menjaga daerah perbatasan di Provinsi Kalimantan Tengah mengalami hambatan. Pasalnya, kondisi topografis di sana terkenal berat dengan tingkat kecuraman yang tajam dan berbukit-bukit.
"Di daerah Sarawak-Kalimantan Tengah, kita tidak bisa ronda bersama. Daerahnya sulit sekali. Rencananya kita juga akan melakukan ronda bersama,"kata Zulkifli sambil menutup konferensi pers dengan wartawan Indonesia dan Malaysia. (Tribun Pontianak/Fakhrurrodzi)

Hutan Bakau, Lingkungan Akuatik yang Mulai Rusak

Hutan Bakau, Lingkungan Akuatik yang Mulai Rusak
Oleh
Teuku Kemal Fasya

Jika Anda penggila wisata kota pesisir, jangan lupakan Langsa. Sejarah Langsa sebagai kota pesisir dikenal lama di semenanjung Lamuri (Aceh), selain Bandar Aceh dan Meulaboh. Secara historis kota ini menjadi batu loncatan islamisasi Sumatera Timur, dengan tokoh utamanya Sultan Muhammad Kampai atau dijuluki Teungku Keramat Panjang. Secara antropologis Langsa terkenal sebagai kota multikultur, karena pembauran pelbagai etnis: Jawa, Batak, Melayu, Tapanuli, China, Tamil, dll, sehingga menjadi satu-satunya “kota yang terberkati” di masa konflik. Satu yang pasti menyenangkan dari Langsa adalah pelabuhannya. Jalan menuju Kuala Langsa dilindungi hutan bakau yang rimbun. Matra iklim pun membalur kenyamanan, karena cuaca yang sering berawan dan hujan. Hidrografi kota pelabuhan yang memiliki dua pintu masuk ini pun cukup tenang. Salah satunya karena hempasan angin darat dan laut di Selat Malaka teredam oleh padatnya hutan. Namun, kini sejarah hutan akuatik itu mulai nelangsa. Bakau yang lebat, tempat bergantungnya ratusan fauna seperti kera, bangau, dan tupai mulai raib. Statusnya sebagai hutan lindung tidak menyurutkan pembabatan massal. Pelakunya masyarakat sekitar. Setahun terakhir hutan bakau Kuala Langsa telah hilang separuhnya. Bandul waktu mengumpulkan satu lagi obituari hutan bakau nusantara, dan satu-satunya rimba bakau potensial di Nanggroe Aceh Darussalam.

Lamurnya Hukum
Jika diteliti lebih jauh, kerusakan hutan bakau di Indonesia bukan hanya disebabkan bergeraknya tangan-tangan globalisasi dalam mengembangkan proyek eksploitasi, seperti hutan darat, la-han gambut, atau terumbu karang, tapi juga problem riil masyarakat pesisir. Menurut lembaga pangan PBB, FAO, pemanfaatan hutan bakau Indonesia memberikan tambahan devisa hingga 2 miliar dolar AS pertahun, tapi tidak berimbas pada kesejahteraan masyarakat pesisir. Hasil riset Asian Development Bank (ADB), angka kemiskinan absolut di Indonesia sebagian besar diderita ma-syarakat pesisir (80 persen). Hal ini memberikan gambaran bahwa pemanfaatan potensi hutan akuatik di Indonesia tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama ekonomi. Pengalihfungsian hutan bakau menjadi areal pertambakan telah memupuk proses ketergantungan baru. Hampir seluruh pekerjanya adalah masyarakat lokal yang telah menjadi buruh upah murah dari tanah-tanah yang dahulunya mereka miliki. Krisis ekonomi tahun 1997 telah menyebabkan masyarakat menjual tanah-tanah miliknya, dan memanfaatkan hutan adat atau lindung sebagai tempat bergantung. Belum lagi pengalihfung-sian hutan untuk proyek infrastruktur. Kasus korupsi yang sedang merebak saat ini tentang pengalih-fungsian 600 hektar hutan bakau untuk pembangunan pelabuhan di Tanjung Siapi-api, Su-matera Selatan, menunjukkan fenomena kerusakan permanen bagi akuatik hijau yang seharusnya mampu menghadang abrasi dan produsen oksigen murni bagi daerah pesisir. Akibatnya mudah ditebak. Hutan bakau Indonesia yang sebenarnya terluas di dunia mengalami proses deforestasi ekstrem. Dari 8,6 juta hektare hutan bakau di tahun 1986, kini hanya tersisa kurang 2 juta hektar. Peraturan menteri kehutan yang melarang ekspor kayu bakau tidak menyurutkan praktik pedagangan ilegal. Arang bakau meninggalkan efek harum panggangan dan disenangi konsumen Jepang, Hong Kong, dan Amerika. Bukan rahasia, sebagian besar berasal dari black market Indonesia. Kontradiksi antarperaturan yang pro-konservasi versus pro-eksploitasi semakin berkibas-libas. Ini jelas terlihat dari penerapan Perpu No. 1/2004 yang kemudian berubah menjadi UU No. 19/2004 tentang (eksploitasi) hutan. Pemantik bom waktu yang ditinggalkan Megawati di akhir masa pemerintahannya dipercepat ledakannya oleh Yudhoyono melalui peraturan organik (PP No. 2/2008 tentang pendapatan negara bukan pajak dari eksploitasi hutan lindung). Bahkan kini, Menteri ESDM Pur-nomo Yusgiantoro tengah bergiat me-ngeluarkan Keppres yang memperluas kesempatan eksploitasi hutan bagi pemain baru. Apa gunanya peraturan menteri yang melarang ekspor jika secara internal pemerintah tidak mengurangi ego eksploitasinya atas hutan-hutan nusantara?

Mencabut Kemanusiaan
Secara nasional pemerintah seperti tidak memiliki pilihan maknyus, di te-ngah krisis minyak global yang entah kapan usai. Namun efek kerusakan lingkungan dan kebangkrutan ekonomi jangka panjang juga perlu dipertimbangkan. Makanya, alih-fungsi hutan seperti tidak bersanksi tegas, karena pemerintah juga tidak memiliki program berkelanjutan dalam menangani problem kemiskinan masyarakat pesisir.. Sima-la-kama ini hanya akan terpecahkan jika pemerintah kembali memfungsikan hukum adat, menertibkan logika hukum dan mencabut peraturan-peraturan yang melegalkan praktik komersialisasi hutan, serta mengadvokasi problem kemiskinan masyarakat pesisir dengan program berkesinambungan dan pro lingkungan. Prinsip keseimbangan ekologis sebenarnya dimiliki semua komunitas hutan, baik pesisir atau pedalaman. Di Aceh dikenal hukum adat yang dikelola oleh pang laot. Ia tidak hanya mengatur lalu-lintas pelayaran tapi juga pemanfaatan hutan dan biosfer bakau. Prinsip produksi-konsumsi hutan bakau oleh masyarakat pesisir tempo doeloe sebenarnya tidak sampai menganggu ekosistem utama. Sanksi adat yang kuat dan religio-magis dipercaya mencegah tindakan berlebihan atas hutan. Saat ini kebaikan adat tergerus rasionalitas kapital yang menawarkan mimpi perubahan dan hedonisme. Pembangunan fasilitas komersial seperti hotel dan restoran di wilayah hutan bukan hanya mengubah kultur tapi juga perbudakan ekonomi masyarakat lokal. Masyarakat pesisir paling menjadi babu, office boy, dan satpam di tanah nenek moyang mereka. Mereka tuan tanpa tanah dan harga diri. Moralitas adat perlu kembali dihidupkan. Mencabut sebuah pohon bakau tanpa alasan yang jelas sama de-ngan mencabut satu nilai kemanusiaan masyarakat lokal. Sejuta pohon tercabut sama dengan sejuta resiko yang bakal mereka terima. Pelan atau cepat sejarah kerusakan akan terulang, dan pasti meninggalkan tragedi kemanusiaan.

Penulis adalah dosen Antropologi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.

Nasionalisme Kaum Intelektual

Nasionalisme Kaum Intelektual


Di tengah kehidupan negara-bangsa, peranan kaum intelektual sangat dibutuhkan dan kontribusinya begitu besar bagi pertumbuhan perubahan. Revolusi sosial yang diteriakan dan diaktualisasi massa, semula digagas dan ditentukan oleh peranan kaum intelektual. Di bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, teknologi, dan semua dimensi yang dibutuhkan dalam masyarakat, keterlibatan intensif kaum intelektual didalamnya menjadi semacam kemestian. Kaum intelektual bukanlah sebuah mitos sosial, melainkan realita yang hegemonik. Harry J Benda dalam karyanya Continuity and Change in Southeast Asia (1972) pernah membedakan posisi intelektual didalam masyarakat yang sudah maju dan yang masih berkembang. Menurutnya dalam masyarakat Barat, kaum intelektual tidak membentuk kelas sosial tersendiri. Mereka hidup hanya sebatas pelengkap diantara kelas-kelas lainnya. Sedangkan di masyarakat berkembang, kaum intelektual memperoleh kedudukan dan pengaruh. Mereka membentuk kelas sosial tersendiri dan memegang kekuasaan politik. Menjadi intelektual dalam masyarakat berkembang, berarti melakukan suatu pekerjaan mulia, memenuhi panggilan hidup dengan nilai dan aturan, disiplin serta kode etiknya tersendiri. Meskipun tesis itu dikemukakan Harry J Benda dalam konteks munculnya kaum intelektual di Asia Tenggara pada masa kolonial. Namun untuk membedakan peranan kaum intelektual di masyarakat maju dan berkembang, perlu ada semacam tinjauan ulang, karena pada intinya peranan kaum intelektual hampir tidak ada bedanya baik itu di masyarakat maju atau masyarakat berkembang. Ia tetap menjadi agen perubahan. Justru kemajuan dan budaya tinggi masyarakat Barat pada masa kini, semula karena disemangati dan digagas oleh peranan kaum intelektual, yang bangunannya dapat dirujuk mulai dari jaman Yunani Kuna, masa pertengahan dan masa pencerahan.

Bung Hatta, Bung Sjahrir
Selain itu, secara sosiologis pun kaum intelektual tidak bisa disejajarkan dengan kelas sosial lainnya. Ia tetap menentukan kebijakan strategis, mengarahkan gagasan dan pemikiran. Bahkan dalam konteks negara-bangsa modern, peranan mereka tetap sangat hegemonik. Justru yang harus dipertanyakan adalah, ada semangat, niatan dan obsesi yang dimiliki kaum intelektual.
Tak semua kaum intelektual mengabdikan diri sebagai agen perubahan, yang mendedikasikan kemampuan dan kapabilitasnya demi untuk pengabdian sosial. Di sisi lain, bahkan banyak kaum intelektual yang hanya mementingkan individu serta berkorporasi dengan kekuasaan. Kemajuan atau kemunduran, merdeka atau terbelenggu, dan baik atau rusaknya sebuah negara-bangsa, ditentukan oleh semangat, obsesi serta niatan kaum intelektual. Nampaknya kemudian, harus ada integrasi dan tidak ada kesenjangan antara intelektualisme di satu sisi, dan etika-moral serta idealisme di sisi lainnya. Seharusnya keduanya harus berjalan berkelindan. Pada masa perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia, begitu banyak kaum intelektual namun hanya sedikit yang mengabdikan diri untuk perjuangan. Umumnya, kaum intelektual pada masa kolonial hanya untuk mengabdi kepada kekuasaan, menjadi pejabat, gubernur, bupati, hingga kepala media massa untuk kepentingan kekuasaan kolonial. Mereka menjadi priyayi-priyayi baru dan mengisi kelas-kelas sosial menengah baru. Sedangkan tujuan mengabdikan diri untuk perjuangan kemerdekaan, mereka cenderung menutup mata. Di situ, proses langgengnya kolonialisme juga ditentukan secara intensif oleh kaum intelektual yang sudah berkorporasi dengan kekuasaan kolonial. Untungnya ketika itu masih ada orang seperti Bung Hatta, Sjahrir, dan sekelasnya, yang tidak menutup mata atas penderitaan dan belenggu yang dialami bangsa Indonesia. Kaum intelektual seperti Sjahrir dan Hatta merupakan intelektual milik publik, yang dedikasi pengetahuan, kapabilitas dan perjuangannya ditujukan bagi terciptanya kemerdekaan Indonesia. Mereka lebih memilih untuk menjadi intelektual “yang bermasalah” daripada menjadi intelektual yang hidup damai, tenang dan berkecukupan namun di atas penderitaan orang lain. Kaum intelektual seperti Sjahrir dan Hatta, lebih senang hidup di penjara, dibuang dan diasingkan, oleh karena perjuangannya yang tidak disukai kekuasaan kolonial.

Kader
Dari dua tipologi kaum intelektual, antara yang pro terhadap kepentingan nasional dan yang pro terhadap kekuasaan kolonial, sesungguhnya mereka sama-sama berangkat dari masyarakat kelas menengah dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Jika menggunakan struktur sosial masyarakat Jawa ala Geertz, kedua tipologi kaum intelektual itu sama-sama lahir dari kelompok masyarakat priyayi. Mereka mendapatkan pendidikan Barat yang semula sengaja diciptakan Belanda lewat politik etisnya (Ethische Politiek, mulai tahun 1900). Pendidikan Barat yang diberikan pemerintah Hindia-Belanda kepada generasi priyayi itu semula untuk menciptakan kader yang akan mengisi kekosongan jabatan-jabatan menengah. Banyak dari kader terdidik itu mengabdi pemerintahan kolonial, namun ada sedikit generasi priyayi itu yang membelot dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. (J.D. Legge, Intellectuals and Nationalism in Indonesia, 1993) Spirit dari kaum intelektual yang pro terhadap kepentingan nasional itu semestinya memberi impresi pada generasi kaum intelektual zaman sekarang. Sekarang ini banyak kaum intelektual di Indonesia yang justru menghianati kode etiknya, yang berbuat kontraproduktif dengan kenyataan masyarakat Indonesia yang masih mengalami kemiskinan, kebodohan, dan penderitaan. Begitu banyak kaum intelektual yang kini hanya memikirkan kepentingan ekonomi individu, mementingkan kepentingan politik kelompok semata dan sebagainya. Kini, kaum intelektual tak hanya lahir dari kelompok priyayi, namun banyak yang lahir dari masyarakat biasa. R William Liddle (1997) mengistilahkannya sebagai “kaum menengah baru” yang termobilisasikan karena peranan intelektualitasnya dalam kehidupan modern dan arus globalisasi. Masyarakat juga banyak yang mengharapkan apakah kaum intelektual semacam itu akan memperjuangkan aspirasi masyarakat kecil, karena bagaimanapun intelektual jenis itu pernah lahir dan tumbuh dalam masyarakat kecil. Atau justru karena euforianya dalam menikmati kelas masyarakat menengah baru, lantas melupakan masa lalunya, dan bahkan menjadi penindas baru bagi masyarakat karena berselingkuh dengan kekuasaan. Di masa kini, Indonesia membutuhkan kaum intelektual seperti Hatta, Sjahrir, Bung Karno, Tan Malaka, HOS Cokroaminoto, dan sekelasnya. Intelektual yang tak hanya mementingkan diri sendiri, yang tidak mengebiri masyarakatnya sendiri. Intelektual yang visioner sekaligus revolusioner. Intelektual yang tidak memecahbelah masyarakat seperti keping-keping reruntuhan, tapi mengintegrasikan masyarakat dalam kesatuan. Intelektual yang berkemauan untuk bersama-sama membangun Indonesia dari keterpurukan.

Penulis adalah peminat historiografi Indonesia modern.

Indonesia Belum Negara Maritim

Indonesia Belum Negara Maritim
Oleh
Muhamad Karim

Diskusi di Sinar Harapan beberapa waktu lalu mengemuka pernyataan Prof Dr Hasyim Djalal bahwa Indonesia belum menjadi negara maritim, melainkan masih dalam proses menuju ke sana. Mengapa pernyataan itu mengemuka? Jawabnya, sederhana saja. Indonesia belum mampu memanfaatkan dan mengelola sumber daya kelautan, yakni sumber daya alam (ikan, tambang), transportasi, pariwisata bahari, industri bioteknologi dan jasa kelautan. Dus, mengapa kita sekarang sudah berupaya menggerakkan ekonomi kelautan, tapi justru jalan di tempat? Apakah ada yang keliru dengan kebijakan pembangunan ekonomi kelautan kita? Jawabnya adalah bagaimana menganalisisnya dalam kacamata antropologis, historis dan sosiologis.
Secara antropologis, ekonomi kelautan Indonesia berakar pada kebudayaan masyarakat Indonesia yang sejak dahulu sebagai bangsa pelaut. Berbagai literatur dan hasil kajian antropologis membuktikan bahwa manusia Indonesia sudah menjelajahi perairan Nusantara sampai ke Madagaskar di Afrika pada abad ke-7, masa kolonialisme abad 17-19 sampai menjelang Indonesia merdeka (baca: Antony Reid). Penggalian situs Delta Sungai Batanghari di Jambi membuktikan bahwa masyarakat pesisir di wilayah itu sudah menggerakkan aktivitas ekonomi pesisirnya dengan temuan alat tangkap ikan jenis bubu. Bahkan, di pelbagai pesisir pantai di Jawa dan Sumatera ditemukan situs perahu kuno, dan kerajaan maritim Sriwijaya di Sumatera Selatan dan Kerajaan Banten.
Sebuah hasil riset juga membuktikan aktivitas bisnis teripang sudah berlangsung sejak abad 14 yang dilakukan orang-orang Sulawesi Selatan. Bahkan, mereka menangkap teripang sampai ke Australia dan seluruh perairan Nusantara. Salah satu situs lukisan Gua di Pulau Muna Sulawesi Tenggara menggambarkan manusia melakukan aktivitas menangkap ikan dengan menggunakan perahu. Maknanya secara antropologi, manusia Indonesia memiliki ikatan yang kuat dengan sumber daya kelautan untuk mempertahankan kehidupannya.

“Dual Economic”
Secara historis-sosiologis membuktikan, perdagangan dan pelayaran yang berlangsung di Nusantara pada abad 15-19 menjadi penggerak utama perekonomian kerajaan-kerajaan Nusantara. Bangsa-bangsa Eropa berupaya keras mencapai Nusantara demi menguasai perdagangan rempah-rempah yang dihasilkan pulau-pulau kecil di Maluku. Tidak berbeda dengan pulau lain di Nusantara. Produk unggulan lokal diperdagangkan secara global dengan basis kekuatannya ekonomi kelautan. Komoditas dari pantai barat dan pantai timur Sumatera adalah kapur barus, lada, kopi, dan karet. Dari Kalimantan diperdagangkan kayu dan hasil hutan lainnya. Komoditas Sulawesi berupa kayu hitam, kelapa, kapas dan ikan. Dari Nusa Tenggara kayu cendana. Pilar ekonomi kelautan adalah komoditas unggulan lokal, perdagangan antarpulau, internasional serta kepelabuhan dengan basisnya kota pantai. Mencermati dinamika ekonomi Nusantara masa itu, sejatinya adalah sebuah model Dual Economic. Di level makro, komoditas perdagangan internasionalnya bersumber pada pertanian dan tanaman perkebunan di satu sisi. Tapi, di sisi lain sektor jasanya transportasi laut. Pada level mikro aktivitas subsistem masyarakatnya berbasiskan pertanian tanaman pangan dan perikanan. Buktinya, masyarakat pulau-pulau kecil di Maluku pada masa lalu selain berprofesi sebagai petani pala dan cengkih, juga beraktivitas menangkap ikan dengan komoditas andalannya adalah teripang, jenis ikan pelagis segar maupun yang diolah (ikan kayu). Ini sudah membudaya dalam komunitas masyarakat pesisir di Indonesia baik yang bermukim di pulau-pulau kecil maupun pesisir. Tengoklah masyarakat Kepulauan Raja Ampat, selain berprofesi sebagai nelayan juga sebagai petani sagu maupun peramu yang diperoleh dari hutan. Makanya, di daerah ini ada tanah adat dan hutan adat. Tapi, ada juga wilayah laut yang dimiliki secara adat dengan model pengelolaan berbasiskan kearifan tradisional. Sayangnya, sekarang pemerintah justru akan memprivatisasi wilayah laut dengan konsep Hak Pengelolaan Perairan Pesisir (HP3) yang amat a-historis. Tidak pernah ada, dalam pengelolaan perairan laut di Nusantara, termasuk di masa kolonial pun, penguasaan laut Nusantara oleh pihak pemilik modal apalagi boleh dialihkan (transferability) dan diperjualbelikan. Sesuatu tanpa akar sejarah adalah “kesesatan”, dan melembagakannya bisa mengundang konflik.

Mengembalikan ”Khitah”
Secara sosio-antropologis, menggambarkan dinamika interaksi antara masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir lebih progresif dibandingkan pedalaman. Dinamika oseanografi perairan laut (gelombang laut, arus, upwilling, dan angin) cenderung mempengaruhi perilaku dan sistem nilai dalam konstelasi budaya politik masyarakat Indonesia. Perilaku yang tegas, jujur, berani, egaliter, terbuka dan menerima pluralisme lebih dominan berkembang dalam masyarakat pesisir. Mereka memosisikan dinamika oseanografi sebagai bentuk tantangan yang membutuhkan keberanian, kejujuran, dan kerja sama antara sesama komunitas. Masyarakat pesisir memiliki interaksi yang tinggi - melalui pelayaran dan perdagangan - dengan komunitas internasional yang beragam entitas budaya, etnik, agama, dan ras. Akibatnya, mereka lebih berpandangan pluralistik ketimbang masyarakat pedalaman. Sebagai masyarakat pelaut, nelayan, dan pedagang, masyarakat pesisir dalam berlayar, berdagang dan menangkap ikan mengutamakan sikap dan budaya keterbukaan, kerja sama, dan egalitarian. Berkembangnya sikap dan budaya ini karena selalu berhadapan dengan bahaya sewaktu-waktu yang bersumber dari alam maupun manusia (bajak laut). Perilaku yang berkembang dalam masyarakat pesisir mirip sistem nilai masyarakat demokrasi dalam negara modern. Dekonstruksi antropologis, historis dan sosiologis tersebut di atas menggambarkan betapa pentingnya ekonomi kelautan yang dibangun secara dual economic. Pola ini tak hanya mempengaruhi dinamika ekonomi masyarakat, tapi juga kebudayaan dan sistem nilainya yang berkembang bahkan sampai kini. Sayangnya, ketika Indonesia merdeka dan di era Orde Baru sampai reformasi kini, pola dual economic yang menopang ekonomi kelautan justru tergerus dari akarnya. Padahal, ia sudah menjadi bagian kebudayaan, dan sistem ekonomi (way of life) yang berkembang secara turun-temurun di bumi Nusantara ini. Diperlukan rekonstruksi bangunan puing-puing dual economic berbasis kelautan sebagai alternatif membangun kekuatan ekonomi bangsa demi mewujudkan ”negara maritim”. Upaya ini membutuhkan dukungan politik yang kuat secara institusional dan struktural. Rekonstruksi ini sekaligus memetakan kekuatan dual economic Indonesia secara geografi dan geo-ekonomi dari wilayah barat sampai timur. Sudah pasti pula mengintegrasikan kekuatan ekonomi terestrial dalam bentuk basis komoditas perdagangan. Inilah kekuatan baru yang secara progresif mengembalikan ”khitah” Indonesia sebagai negara maritim.

Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim