Rabu, 25 Februari 2009

Pulau Sebatik, Separuh Indonesia Separuh Malaysia

Pulau Sebatik, Separuh Indonesia Separuh Malaysia

Saya bersyukur kepada Allah mendapat kesempatan mengunjungi Pulau Sebatik. Pulau ini termasuk gugusan pulau-pulau kecil terluar (PPKT) Indonesia. Letaknya di Kabupaten Nunukan, Propinsi Kalimantan Timur. Kunjungan ke Pulau Sebatik dilakukan dalam rangka kajian PPKT berupa inventarisasi faktor bio-fisik dan sosial-ekonomi berdasarkan standar UNCLOS.

Pulau Sebatik ini unik, sebab separuh kawasannya masuk ke wilayah Indonesia dan separuhnya lagi masuk wilayah Malaysia. Pada satu laporan yang saya baca bahkan dituliskan ada rumah yang beranda depannya masuk Indonesia dan dapurnya masuk Malaysia! Batas wilayah antar negara ini memotong pulau dengan garis kurang lebih sejajar khatulistiwa (silakan Googling kata "pulau sebatik"). Pulau ini bentuknya membujur dari arah Barat ke Timur sepanjang kurang lebih 30 km. Sebagian besar potongan bagian Selatan menjadi bagian dari negara RI.

Akses dan Kondisi Perekonomian

Saya bersama dua peneliti lain dari Balai Penelitian Geomatika, Bakosurtanal, pada hari Jum'at, 27 Juli 2007, sudah berangkat dari Hotel di kota Nunukan pagi hari. Tujuannya adalah Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan. Dari sana kami berencana menyeberang ke Pulau Sebatik dengan perahu kecil. Selat Sebatik yang memisahkan Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik lebarnya sekitar 3-4 kilometer saja.

Cuaca hujan membuat kami masti menunggu cukup lama di Pelabuhan. Saya sempat mengabadikan beberapa foto di sana. Beberapa informasi juga saya dapatkan. Pelabuhan yang amat ramai pagi itu ternyata dipenuhi para penumpang yang hendak pergi ke kota Tawao, Malaysia. Orang-orang ber-KTP Nunukan dan sekitarnya bisa mendapatkan perijinan memasuki Malaysia lewat Tawao dengan prosedur yang relatif mudah dibandingkan orang Indonesia lainnya seperti kami dari Pulau Jawa.

Kota Tawao yang berada di seberang Pulau Sebatik menjadi pusat perekonomian kawasan ini. Barang dagangan seperti susu, kue-kue, gula-gula di kota-kota Kabupaten Nunukan berasal dari Malaysia dan masuk lewat Tawao. Bahkan pada kota-kota di kabupaten yang letaknya di sebelah Selatan Nunukan seperti Tarakan (Kabupaten Bulungan) dan Tanjung Redep (Kabupaten Berau) barang-barang dagangan juga didominasi yang masuk lewat Tawao.

Karena perahu sulit didapatkan di Pelabuhan Tunon Taka, maka kami bertiga pergi ke Dermaga Yamaker. Dari arah daratan kami memasuki pasar yang didirikan di atas papan-papan pada pesisir pantai. Di ujung pasar terletak dermaga kecil Yamaker. Terlihat kantor kecil Dinas Perhubungan dan Pos Polisi di sana. Di hadapan dermaga nampak belahan Pulau Sebatik yang masuk wilayah Malaysia. Tak heran kalau di Dermaga Yamaker berkibar bendera Merah-Putih. Juga kami saksikan beberapa perahu kecil lalu lalang dengan mengibarkan bendera Merah-Putih.

Kami membawa lembar peta kerja. Di sana kami sempat bertukar informasi dengan masyarakat dan juga aparat keamanan. Mereka, masyarakat terutama, amat antusias melihat peta yang kami bawa. Mereka dengan lancar bisa menjelaskan nama-nama kawasan yang ada dalam peta. Sepertinya mereka baru pertama kali melihat peta kawasan mereka sendiri.

Pada Pos Polisi ternyata tidak ada peta kawasan sekitar Dermaga Yamaker. Agak sedih juga saya mengetahui ini. Semestinya mereka yang bertugas di kawasan perbatasan dilengkapi dengan peta-peta yang memadai. Biarlah ini jadi catatan yang saya bawa saat pulang ke kantor. Pada kesempatan obrolan dengan seorang polisi pelopor (Brimob) yang saat itu didatangkan dari Balikpapan untuk tugas khusus, saya terkejut ketika sang polisi bertanya, "Memang di Pulau sana ada wilayah Indonesia, Pak?". Yang ia maksud adalah di Pulau Sebatik. Saya jawab, "Iya, Pak ... Saya akan tunjukkan di peta yang saya bawa."

Tahulah saya betapa kami, sebagai wakil pemerintahan negara ini, masih harus kerja keras menyebarkan informasi spasial berupa peta ke daerah-daerah. Hal ini memang sudah saya catat benar. Bahkan ketika kami berkunjung ke kantor Bappeda di salah satu kabupaten di Kalimantan Timur, kami sudah dikejutkan dengan tidak pernahnya mereka membaca langsung peta produksi Bakosurtanal. Mereka hanya memperoleh peta turunan yang dibuat oleh kontraktor pada salah satu pekerjaan penataan ruang.

Akhirnya kami menaiki sebuah perahu kecil menuju Pulau Sebatik. Sekitar 25 menit kami seberangi Selat Sebatik. Ongkos yang harus dibayar Rp. 15.000 per orang.

Di Pulau Sebatik kami turun di perkampungan kecil bernama Bambangan. Karena sudah lewat tengah hari, kami langsung ke warung terdekat dermaga Bambangan untuk makan siang dan sholat di masjid at-Taqwa, yang juga terletak di sekitar lokasi dermaga.

Tadinya kami berencana melakukan survei lahan dan tutupannya lewat jalan darat. Tetapi cuaca hujan rupanya membuat jalan darat ini sulit ditempuh kendaraan. Akhirnya kami putuskan untuk melakukan survei di kawasan pesisir Selat Sebatik dengan perahu. Sesekali kami merapat ke dermaga-dermaga yang ada di pesisir pantai itu lalu masuk ke perkampungan untuk mengukur posisi dengan alat GPS dan mengambil foto serta sampel tanah.

Beberapa Catatan Sosial

Sayangnya kami bertiga belum dapat melakukan survei lebih mendalam tentang kondisi sosial-masyarakat Pulau Sebatik. Ada seorang dari peneliti kami yang akan beberapa hari lagi meneliti pulau ini.

Dari kunjungan sepintas ke Pulau Sebatik, saya bisa menyampaikan catatan singkat sebagai berikut. Infrastruktur pulau ini masih memprihatinkan. Beberapa ruas jalan masih berupa tanah, yang amat rentan dengan cuaca hujan. Sementara itu memasuki arah Timur (batasnya sekitar Mantikas), jalan sudah diperkeras dengan batu-batuan yang dilembutkan. Hanya bagian Timur di dekat Tanjung Karang dan Sungai Nyamuk yang menurut yang saya dengar jalannya sudah diaspal.

Masyarakat di sana hidup dengan kondisi sederhana. Mereka hidup dari bertani, berkebun, bertambak ikan atau bisnis perahu. Nampaknya sebagian kaum lelaki pergi jauh dari rumah untuk mencari penghidupan dengan berdagang atau menjadi pekerja pelabuhan, perkebunan dan lain-lain.

Saya mencatat betapa kawasan Sebatik ini masih memerlukan perhatian serius dari pemerintah Kabupaten Nunukan, pemerintah Propinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah Pusat untuk lebih diberdayakan lagi sektor perekonomiannya. Yang juga penting diperhatikan adalah agar anak-anak Sebatik memperoleh kesempatan belajar dengan sebaik-baiknya.

Catatan ini akan saya lanjutkan lagi, insya Allah. Saya pun akan menyampaikan beberapa foto yang sempat diambil saat survei.

Bogor, 31 Juli 2007,
Adi Junjunan Mustafa
(Tim Survei Lapangan, Balai Penelitian Geomatika, Bakosurtanal)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar